JAKARTAMU.COM | Djuanda Kartawijaya adalah sosok sederhana yang mencintai bangsanya. Dia adalah guru yang tak silau dengan iming-iming jabatan, seorang pejabat yang terjaga integritas moralnya, seorang teladan yang bijaksana bagi keluarga.
Inilah yang tersaji dalam Sandiwara Kebangsaan berjudul Sang Surya di Atas Lautan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Selasa (26/11/2026). Pentas sandiwara tersebut dipersembahkan Lembag Seni Budaya Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta dalam rangka memperingati Milad ke-112 Muhammadiyah.
Baca juga: Djuanda Kartawidjaja di Senja Demokrasi Coba-Coba
Sang Surya di Atas Lautan disutradarai Prof Dr Imamuddin dan Suryana MD, Spd, M.Ds.c. Sandiwara ini mengisahkan perjalanan hidup Djuanda melalui penggalan-penggalan fragmen. Dia adalah guru sekolah, kader, sekaligus aktivis Muhammadiyah yang kemudian dipercaya Bung Karno mendampinginya sebagai perdana menteri pada usia 46 tahun.
Djuanda menjadi perdana menteri terakhir yang pernah dimiliki Indonesia. Kendati hanya menjabat dua tahun, jasanya untuk Republik Indonesia sangat besar. Ketika kesatuan bangsa dan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 baru menjadi slogan politik, Deklarasi Djuanda menyempurnakan utuhnya Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah negara kepulauan.
Dalam salah satu fragmen, ditampilkan bagaimana Djuanda sebagai seorang pejabat di lingkungan keluarga. Djuanda tak memakai aji mumpung. Dia menolak keinginan keluarganya yang bermaksud ikut serta dalam perjalanan dinas ke luar negeri.
Djuanda mencontohkan bagaimama Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung mematikan lampu kantornya ketika tahu tamu yang datang adalah anaknya, yang datang untuk urusan keluarga.
Ditunjukkan pula bagaimana Djuanda mendidik Awaludin Jamil, menantunya yang polisi. Awaludin yang akhirnya memang menjadi kapolri, tak ingin menjadikan nama mertuanya itu sebagai pelumas kariernya di kepolisian.
Baca juga: Berikut Ini Daftar 23 Pahlawan Nasional Dari Muhammadiyah