Minggu, Januari 5, 2025
No menu items!

Sebuah Rahasia di Balik Kalender Gratis

Must Read

KALENDER cetak tahun 2025 laris menjadi buah tangan sejak awal Desember 2024. Berbagai instansi, organisasi, dan lembaga membagikannya secara cuma-cuma gratis sebagai media promosi.

Bagi sebagian orang awam, bagi-bagi kalender gratis mungkin dianggap biasa, malah sama sekali tidak bernilai. Tentu pendapat itu tidak salah, kalau bandingannya bantuan langsung tunai (BLT) atau sembako gratis.

Kedua program itu nilainya Rp200 ribu sampai Rp300 ribu setiap orang. Sementara harga kalender yang dicetak paling mahal sebutlah Rp50 ribu. Lagipula, tanpa perlu diberi, kita semua sekarang toh bisa mengunduh kalender di internet. Banyak situs yang menyediakan, dan sama-sama gratis.

Kalau tak mau repot mengunduh, kita pun juga tidak akan merasa bingung. Semua merek ponsel yang kita bawa ke mana-mana setiap hari sudah dilengkapi aplikasi bawaan kalender. Lalu apa istimewanya diberi kalender gratis?

Baca juga: Membawa Sunnah dari Beijing ke Indonesia

Tak Berharga Sekaligus Sangat Bernilai

Kisah kecil dari Sekretariat Serikat Pengusaha Muhammadiyah (Sumu) Jakarta Selatan barangkali bisa menjelaskan hal ini. Seorang kader Muhammadiyah kelahiran Blora menceritakan bahwa ibunya, seorang pensiunan pegawai Bank Rakyat Indonesia yang sudah pensiun, setiap akhir tahun mendapat kalender dari BRI, juga sembako pada momentum tertentu.

Setiap tahun ketika kalender datang, sang ibu segera memasangnya dengan hati gembira. Dibukanya lembar demi lembar kertas kalender setiap akhir bulan dengan telaten. Sang ibu yang sudah sepuh jelas merasa repot kalau harus membuka ponsel hanya untuk memastikan hari dan tanggal.

Baginya, lebih nyaman melihat hari dan tanggal dari kalender cetak. Ukuran huruf dan angkanya besar sehingga lebih mudah terbaca dari pada harus senam jari untuk scroll layar ponsel ke atas bawah, kiri kanan. Membuka lembaran kalender adalah hiburan yang lebih menyenangkan dari pada membuka ponsel.

Begitulah, siapa sangka pemberian yang harganya tak seberapa itu ternyata bernilai luar biasa bagi sang ibu, pegawai BUMN yang sudah pensiun sekitar 20 tahun tahun lalu.

Baca juga: Ironi Negeri Maritim: Pelaut tanpa Berenang

Menjaga Tali Silaturahmi

Pada sebuah acara pengajian rutin Minggu pagi di Masjid Arrahman, Jalan Balai Pustaka No 2 Rawamangun Jakarta Timur, mantan Direktur Bimroh Rumah Sakit Islam, Buya Natsir Bakri  (almarhum) melontarkan kritik kecil untuk Muhammadiyah.

”Terkadang, Persyarikatan ini kurang menghargai perjuangan orang lain. Kita tidak meminta-minta dihargai. Tetapi contohnya saya, tiga periode menjadi direktur setelah pensiun selesai sudah semuanya, seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali,” katanya.

Dia lalu mengutip sebuah hadis. ”Rahim bergantung di Arys seraya berkata: Barangsiapa yang menyambung hubunganku niscaya Allah SWT menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskan aku niscaya Allah swt memutuskan hubungan dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sentilan ini menyentak ingatan ketika pada momentum Milad ke-112 Muhammadiyah yang suasananya masih terasa ini, banyak perguruan Muhammadiyah menggelar acara megah, pembagian sembako, sampai pemberian hadiah umrah untuk para guru, pegawai, dan karyawan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Namun berapa banyak pimpinan Persyarikatan dan AUM yang masih ingat untuk sekadar memberikan buah atau cindera mata kepada para mantan guru, pegawai, karyawan, pramubhakti yang telah purna tugas agar tetap terjalin tali silaturahmi?

Baca juga: Ketika Prabowo Ingin Pencak Silat Diakui di Mesir

Konon, pengajian adalah roh dakwah dan gerakan Muhammadiyah. Tak heran pengajian menjadi kegiatan wajib di berbagai AUM sampai diberlakukan absensi. Absensi tersebut menjadi bahan pertimbangan kenaikan jabatan atau perpanjangan tugas pegawai honorer AUM. Namun ketika mereka pensiun, jangankan bisa diabsen dalam suatu pengajian, diundang pun tidak.

Berkaca dari kisah kecil di atas, sebaiknya AUM yang punya anggaran besar memikirkan hal ini. Misalnya pemberian bingkisan pada hari raya untuk para mantan kepala sekolah dan guru bantu. Meskipun telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) misalnya, mereka pernah mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah selama belasan bahkan puluhan tahun.

Sebotol sirup pun akan sangat bernilai bagi mereka. Pasti bukan harganya yang mereka lihat. Penghargaan, perhatian, serta kuatnya silaturahmi, itu yang mereka rasakan.  Undang mereka dalam acara buka puasa bersama (ifhtar jama’i) di AUM. Jalin silaturahmi dengan keluarga mereka yang telah meninggal.

Tanpa harus menjadi motif, bentuk perhatian dan silaturahmi yang terjalin itu akan menjawab pertanyaan soal sulitnya meloloskan kader Muhammadiyah menjadi anggota DPRD atau DPD. Sebagian pimpinan Persyarikatan gagal paham tentang pentingnya menjaga silaturrahim kendati jumlah anggota dan simpatisan Muhammadiyah sangat besar. (*)

Reposisi Zakat dan Kekuasaan Islam

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, Jurnalis Tinggal di Jakarta ASPEKP terbesar dari penegakan kembali rukun Zakat adalah Tauhid. Zakat, kini...

More Articles Like This