LAHIRNYA aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi umat Islam sendiri pada saat itu.
Lothrop Stoddard dalam bukunya berjudul “Dunia Baru Islam” (Panitia Penerbit, 1966) menyebut sejak kekalahan Turki Utsmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18.
Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern.
Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain umat Islam sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap yang apatis dan fatalistis.
“Akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya,” tulis Lothrop Stoddard.
Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat Islam yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India ini, semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Mutiny di tahun 1857.
Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap ummat Islam. Inggris berkeyakinan bahwa ummat Islamlah yang menjadi biang keladi pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab.
Selain itu ia pun menuduh ummat Islam ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan Mughal, di samping itu Inggris menganggap oposisi umat Muslim adalah karena didorong oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala, sedangkan kaum Hindu tampak dapat menyembunyikannya, sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris.
“Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi ummat Islam,” tambah K. ‘Ali dalam “History of India, Pakistan & Bangladesh, (Dacca: ‘Ali Publication, 1980),
Sebagaimana diketahui, kaum Hindu di bawah pemerintahan kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada ummat Islam, karena itu sikap nonkooperatif ummat Islam India saat itu semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya ke dalam situasi keterasingan di negeri sendiri.
Selain itu, mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan dan perselisihan dengan sesama Muslim, karena masalah khilafiyyah di satu pihak, dan di pihak lain hubungan di antara mereka terutama yang telah mendapat didikan sistem Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya.
Situasi ummat Islam di India saat itu, boleh jadi tidak jauh berbeda dengan keadaan ummat Islam Indonesia di zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam keadaan demikian, kaum ulama Islam sebagai digambarkan oleh Maulana Muhammad ‘Ali, telah tenggelam sampai ke tingkat yang paling bawah. “Sehingga pertarungan antar-sesama kelompok Muslim, karena perbedaan paham yang kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan menghukum Muslim lainnya sebagai kafir,” tulis Maulana Muhammad Ali dalam buku “Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, His Life and Mission” (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1959).
Demikianlah situasi umat Islam yang melatarbelakangi munculnya gerakan Mahdiisme Ahmadiyah. Drs. Muslih Fathoni, M.A. dalam bukunya berjudul “Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (PT. RajaGrafindo Persada, 1994) menyebut di sini Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur-an sesuai dengan tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan kepadanya.
Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencamya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap umat Islam saat itu.
Dalam hubungan ini, Wilfred Cantwell Smith dalam “Modern Islam in India” (New Delhi: Usha Publication, 1979) menggambarkan bahwa Ahmadiyah yang lahir menjelang akhir abad ke-19, di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen (terhadap Islam), dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maka lahimya Ahmadiyah adalah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru.
Hal itu juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh-nya. Di samping itu, di saat yang sama, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.
Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan ummat Islam yang sangat sensitif, yaitu masih adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Quran dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad. “Inilah kiranya yang menyebabkan timbulnya reaksi keras dan permusuhan umat Islam terhadap aliran yang baru lahir itu,” ujar Muslih Fathoni.