Oleh: Sugiyati, S.Pd
Kauman, sebuah perkampungan santri di jantung Yogyakarta, tengah memasuki era perubahan besar pada awal abad ke-20. Di gang-gang kecilnya, rumah-rumah berdinding kayu berjajar rapat, dihuni oleh para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang juga dikenal sebagai penjaga tradisi Islam di lingkungan istana. Di sinilah, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912, lahir sebuah gerakan pembaruan Islam yang kelak mengubah wajah pendidikan dan dakwah di Nusantara—Muhammadiyah.
Semua bermula dari seorang ulama muda bernama Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang saat itu baru berusia 44 tahun. Ia bukan sekadar ulama tradisional, tetapi juga pemikir yang progresif. Lahir dengan nama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan telah mengenyam pendidikan di Makkah dan menyaksikan sendiri bagaimana Islam berkembang di luar Nusantara. Sepulang dari Makkah, ia membawa gagasan besar: Islam harus kembali pada kemurniannya, bebas dari takhayul, bid’ah, dan khurafat yang saat itu masih mengakar kuat di masyarakat Jawa.
Namun, gagasan besar itu memerlukan wadah. Awalnya, Ahmad Dahlan memulainya dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada awal tahun 1912. Madrasah ini bukan sekadar tempat mengaji, tetapi sebuah sekolah Islam modern yang menyeimbangkan ilmu agama dan ilmu umum. Tempatnya sederhana—hanya sebuah kamar tamu di rumah Ahmad Dahlan, berukuran 6 meter x 2,5 meter, dengan tiga meja panjang, tiga kursi, dan satu papan tulis. Muridnya hanya sembilan orang.
Madrasah ini dibiayai sendiri oleh Ahmad Dahlan. Ia rela menjual harta bendanya untuk mewujudkan sekolah impiannya, sebab baginya, pendidikan adalah kunci kebangkitan umat Islam. Tidak ada dana dari pihak lain, tidak ada bantuan dari pemerintah kolonial, bahkan tidak sedikit yang mencibir usahanya. Namun, Ahmad Dahlan tak goyah. Ia terus mengajar, membimbing santri-santrinya dengan penuh kesabaran dan keyakinan.
Seiring waktu, para santri dari Kweek School Jetis, sekolah guru yang banyak melahirkan intelektual muda, mulai berdiskusi dengan Ahmad Dahlan. Mereka menyadari bahwa sebuah organisasi diperlukan agar madrasah ini tidak sekadar menjadi lembaga pendidikan biasa, tetapi juga menjadi gerakan dakwah yang lebih luas.
“Kyai, bagaimana jika kita mendirikan organisasi yang bisa menjadi wadah perjuangan kita?” ujar salah seorang muridnya dalam suatu diskusi malam di serambi rumah.
Ahmad Dahlan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Itu gagasan yang baik. Kita memerlukan gerakan yang bisa menyebarluaskan Islam yang sebenar-benarnya, bukan hanya dalam lingkup Kauman, tetapi juga di seluruh Nusantara.”
Namun, mendirikan organisasi pada masa kolonial bukanlah perkara mudah. Pemerintah Hindia-Belanda memiliki aturan ketat. Organisasi yang dianggap dapat mengancam stabilitas kolonialisme harus mendapat izin resmi, dan izin itu tidak mudah diperoleh. Selain itu, untuk mendirikan organisasi, pendirinya harus berusia di atas batas yang ditentukan oleh pemerintah.
Maka, meskipun Muhammadiyah lahir dari gagasan para santri muda, dalam Statuten (Anggaran Dasar) yang diajukan ke pemerintah, hanya nama-nama yang telah cukup usia yang dicantumkan sebagai pendiri resmi. Hal ini semata-mata untuk memenuhi syarat administratif agar Muhammadiyah bisa mendapat pengakuan hukum.
Pada 18 November 1912, organisasi ini resmi berdiri dengan nama Muhammadiyah, yang berarti pengikut Nabi Muhammad SAW. Nama ini dipilih dengan harapan bahwa anggotanya dapat meneladani Rasulullah dalam beramal dan berdakwah.
Namun, perjuangan baru saja dimulai. Pemerintah Hindia-Belanda tidak langsung mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum. Proses pengajuannya panjang dan berliku, hingga akhirnya, pada 22 Agustus 1914, terbitlah Besluit No. 81, yang secara resmi mengakui Muhammadiyah sebagai organisasi yang sah.
Bersamaan dengan itu, tantangan lain muncul. Kaum konservatif di Yogyakarta menentang keras gerakan ini. Mereka menganggap Ahmad Dahlan membawa ajaran baru yang merusak tradisi Islam yang sudah lama mereka pegang. Tuduhan bid’ah pun bermunculan, dan tak jarang Ahmad Dahlan harus menghadapi cemoohan dan perlawanan.
Tetapi, Ahmad Dahlan bukan orang yang mudah mundur. Ia tahu bahwa pembaruan selalu menghadapi perlawanan di awal. Dengan keyakinan yang kuat, ia terus mengajarkan Islam yang berkemajuan, membuka madrasah-madrasah baru, dan memperluas dakwah Muhammadiyah ke berbagai daerah.
Pada tahun 1917, dalam Kongres Boedi Oetomo yang diadakan di rumah Ahmad Dahlan, ia mengutarakan gagasan besar: Muhammadiyah tidak boleh berhenti di Yogyakarta, tetapi harus meluas ke seluruh Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan seluruh Nusantara.
Dengan langkah yang mantap, Ahmad Dahlan mulai melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia tidak hanya berdakwah, tetapi juga mendorong masyarakat untuk mendirikan cabang Muhammadiyah.
Langkahnya semakin kuat ketika Muhammadiyah mendapat pengakuan sebagai organisasi resmi. Kini, ia bebas bergerak, mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kejumudan, kebodohan, dan kemiskinan, serta menggantinya dengan semangat belajar, beramal, dan berjuang demi kejayaan Islam.
Namun, perjuangan Ahmad Dahlan masih panjang. Perlawanan dari kaum konservatif semakin keras, bahkan ancaman terhadap dirinya semakin nyata. Di sisi lain, Muhammadiyah mulai berkembang pesat, dan semakin banyak cabang yang berdiri di berbagai daerah.
Bagaimana Ahmad Dahlan menghadapi tantangan ini? Apa strategi yang ia gunakan untuk memperluas Muhammadiyah? Dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap gerakan ini?
(Bersambung ke Episode 2: Perlawanan dan Pengorbanan)