JAKARTAMU.COM | Setidaknya ada 6 nama kader Muhammadiyah yang dipanggil presiden terpilih Prabowo Subianto untuk direncanakan duduk sebagai pembantunya alias menteri dan wakil menteri.
Lalu, bagaimana sejatinya peran politik Muhammadiyah yang lalu-lalu bahkan sebelum Indonesia merdeka? Berikut ulasan Jurnalis Senior Jakartamu.com Joko Sumpeno bertajuk “Muhammadiyah dan Kabinet”.
Sebelum memasuki kaitan Muhammadiyah dengan peran para tokohnya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, menarik untuk dicatat peranan itu menjelang Republik Indonesia merdeka.
Mulai awal abad XX telah dimajukan dan diramaikan dengan kehadiran media cetak yang mencatat perubahan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di dunia yang Indonesia-pun mengalaminya. Gerak maju informasi dan komunikasi-pun disambut Muhammadiyah dengan semboyannya menegakkan dakwah yang berkemajuan.
Baca juga: Gaya Orde Prabowo: Mengulang Kabinet 100 Menteri
Melalui penjajahan Belanda yang dialaminya (1912-1942) Muhammadiyah bagai gunung karang di samudera raya peradaban, menyinarkan Islam yang merahmati alam semesta Nusantara di bumi khatulistiwa.
Kian kokoh di tengah badai kontra kaum tradisional yang membatu dan melumutkan diri. Pendidikan, penyantunan kaum yang sengsara dan dhuafa, tampaknya, serta pelayanan sosial tak dikira menembus dinding-dinding pengambil kebijakan publik pada zamannya.
Muhammadiyah dalam batasan tertentu tak menolak uluran bantuan pemerintah kolonial agar tak berkesan konfrontatif, membawa Muhammadiyah ke pusaran ganda bersikap terhadap politik. Para tokohnya diberikan keleluasaan untuk berperan di dalam proses politik.
Banyak pengamat berpendapat, Muhammadiyah menyadari jalan tengah yang ditempuhnya, termasuk sejak 1942-1945 di bawah kekuasaan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Boleh jadi, kebijakan Jepang di Indonesia yang membuka peluang politik bagi kekuatan sosial-politik Islam di samping kekuatan nasionalis merupakan petunjuk adanya kebutuhan akan persekutuan menghadapi Sekutu di kawasan Pasifik pada Perang Dunia II (1939-1945).
Baca juga: KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Tidak Alergi terhadap Politik
Mulanya, dengan terbentuknya Empat Serangkai (Sukarno, M Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansyur) dalam menggalang kekuatan politik domestik di bawah kendali pemerintah pendudukan Jepang.
KH Mas Mansyur, ketika itu Ketua PB Muhammadiyah mulai memainkan peran politiknya, antara lain pembentukan MIAI (Majelis Islam ‘ala Indonesia) dan kemudian Masyumi (lama, semasa pemerintahan Jepang).
Berikutnya, Ki Bagus Hadikusumo Ketua PB Muhammadiyah yang menggantikan KH Mas Masyur, terpilih menjadi salah satu dari 62 anggota Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (29 Mei -16 Juli 1945) bersama KH Abdul Kahar Muzakir.
Kelak Ki Bagus Hadikusumo juga menjadi anggota PPKI yang berjuang keras memasukkan ‘Yang Maha Esa pada KeTuhanan’ pada sila pertama Pancasila yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945; juga minta agar kata menurut pada Kemanusiaan yang adil dan beradab di belakang ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’, dicoret. Itu berhasil…
Itulah perjuangan akidah untuk bertauhid dalam rumusan Dasar Negara Pancasila oleh Muhammadiyah melalui Ki Bagus Hadikusumo.
Memasuki Januari 1945, kekuatan Politik Islam diberi sayap militer yakni Hizbullah dan Sabilillah yang ditokohi KH Zainul Arifin, M. Roem (Muhammadiyah) sebagai wakilnya, Prawoto Mangkusasmito, dibantu lagi oleh KH Imam Zarkasi dari Pondok Modern Gontor.
Baca juga: Pribumi, Masih Penuh dengan Luka dan Rintihan
Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI dalam situasi Perang Kemerdekaan (1945-1950) Muhammadiyah tak berkiprah langsung dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena telah diwadahi oleh Partai Politik Islam Indonesia – Masyumi yang Muhammadiyah secara organisasi menjadi anggota Istimewa bersama Nadlatul Ulama (NU) sejak November 1945-1952.
Pada era demokrasi parlementer, KH Faqih Usman terpilih sebagai Menteri Agama “mengalahkan suara pilihan ” atas KH Wahid Hasyim, menteri agama sebelumnya. Rupanya, inilah yang menjadi salah satu gara-gara NU keluar dari Masyumi dan menjadi Partai Politik berdiri sendiri (1952).
Meskipun secara resmi tidak mewakili, namun Muhammadiyah yang secara politik menempatkan para wakilnya di DPR – Fraksi Masyumi. Sebutlah, misalnya Dr. Soekiman (pernah menjadi Perdana Menteri 1951-1952, menggantikan M. Natsir), Kasman Singodimejo, KH Fakih Usman dll.
Dua tahun pada akhir demokrasi parlementer, kader Muhammadiyah yang tak berpartai politik yakni Ir. Djuanda Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri (1957-1959) setelah sejak November 1945 hingga akhir hayatnya pada 1963 (sejak 1959 menjadi Menteri Pertama dalam demokrasi Terpimpinnya Bung Karno).
“Presiden Sukarno sebagai anggota Muhammadiyah tak mampu dibujuk PKI yang menyarankan pembubaran Muhammadiyah”
Sejak 1959-1965, kepemimpinan Muhammadiyah tertekan dan kritis, pasca-pembubaran Masyumi. Di beberapa daerah, orang-orang Muhammadiyah takut karena kecurigaan aparat yang mulai dikuasai PKI.
Namun, Presiden Sukarno sebagai anggota Muhammadiyah tak mampu dibujuk PKI yang menyarankan pembubaran Muhammadiyah; juga HMI yang dilindungi oleh NU melalui Menteri Agama Syaifudin Zuhri dan Jenderal Ahmad Yani.
Demi eksistensi gerakan persyarikatan, KHA Badawi Ketua PP Muhammadiyah dan jajaran pengurus harian lainnya, terpaksa menempuh akomodatif terhadap pemerintah yang meskipun oleh sementara kalangan Masyumi telah dianggap kelewat jauh.
Pada akhir periode 1959-1966, Muhammadiyah dengan berat hati menerima peran ganda, selain sebagai organisasi massa juga sekaligus sebagai organisasi politik.
Jadilah orsospol (organisasi sosial politik) dengan imbalan sejumlah tokoh Muhammadiyah dan atas nama Muhammadiyah menerima tawaran sebagai anggota DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai pengganti DPR hasil pemilu 1955 yang dibubarkan paksa oleh Soekarno pada 1960.
Bahkan dua tokoh Muhammadiyah, yakni Mulyadi Djojomartono dan Marzuki Yatim mengundurkan diri dari Masyumi demi mewakili Muhammadiyah sebagai Menteri Sosial dan Deputy Menteri Agama.
Patut dicatat, bahwa periode Kabinet semasa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950, lanjut ke Kabinet Parlementer 1950-1959 dan Era Demokrasi Terpimpin 1960-1966 (Orde Lama) ke Demokrasi Pancasila (Orde Baru, 1968-1998) selalu hadir tokoh Muhammadiyah atau terkait dengan Muhammadiyah yang menjadi Menteri/Wakil Menteri.
Sebutlah Menteri Agama RI yang bermutu tinggi dan satu-satunya yang menjabat dua periode yakni Munawir Syadzali. Beliau berasal dari Klaten Jawa Tengah, pernah berjuang melalui Hizbullah di Semarang, menjadi Sekretaris Perdana Menteri M. Natsir, kemudian berkarir di Kementerian luar Negeri di Inggris, Kanada dan Dubes Kuwait.
“Nama -nama telah bisa ditandai, namun sekali lagi Muhammadiyah insya Allah tetap tegak pada doktrinnya: Amar ma’ruf Nahi Munkar.”
Kini, sedang dinantikan siapa dan kementerian apa yang diberikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menggantikan jabatan 10 tahun Presiden Joko Widodo, kepada para tokoh dan atau orang Muhammadiyah. Nama -nama telah bisa ditandai, namun sekali lagi Muhammadiyah insya Allah tetap tegak pada doktrinnya: Amar ma’ruf Nahi Munkar.
Di era digital dengan tsunami informasi yang dipenuhi sampah berita hoaks dan potongan berita video yang menyesatkan, kita butuh media informasi baik cetak maupun digital, selain kehadiran para tokoh Muhammadiyah yang diberi amanat memimpin negeri dalam bidang garapan masing-masing.
Selamat memikul amanat.