Rabu, Januari 15, 2025
No menu items!

Sejarah Perkembangan Ilmu Tauhid Menurut Bang Imad

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Wartawan Senior di SINDOnews.com dan Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id.

JAKARTAMU.COM | Tauhid, sebagai ilmu, sebetulnya belum ada di zaman Rasulullah SAW, walaupun seluruh ulama sependapat, bahwa tauhid adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran Islam.

Sebagai ‘ilmu, Tauhid tumbuh, lama sesudah Rasulullah wafat. Semasa hidup Rasulullah SAW, beliau mendidikkan sikap dan watak bertauhid ini dengan memberikan contoh teladan kepada para sahabat-sahabat beliau di dalam kehidupan sehari-hari.

Cendekiawan Muslim, Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1931-2008) atau Bang Imad dalam buku “Kuliah Tauhid” (Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1980) mengatakan pribadi Muhammad sebagai Rasulullah memanglah pribadi manusia yang sempurna (insan kamiil).

Dengan kata lain, beliau adalah manusia bertauhid secara istikamah (consistent) dan paripurna. “Karena itu, sikap, watak, ucapan dan tindak-tanduk beliau sebagai Rasulullah, terutama di bidang ibadah merupakan rujukan bagi setiap mu’min,” ujarnya.

Sebagaimana yang difirmankan Allah sendiri di dalam kitab-Nya: “Sesungguhnya kamu dapati pada diri Rasulullah itu teladan yang terpuji bagi mereka, yang menaruh harapan kepada Allah, dan yakin akan hari akhirat, dan senantiasa terkenang akan Allah.” (QS 33:21).

Karena itu pulalah beberapa tahun sesudah Rasulullah wafat, ketika Siti ‘Aisyah RA ditanyai orang tentang akhlak Rasulullah, Siti ‘Aisyah bertanya kembali dan menegaskan: “Tidakkah kau baca Al-Qur’an? Itulah gambaran akhlak (budi pekerti) Rasulullah!”

Jadi tepatlah kalau ada yang mengatakan Rasulullah itu “Qur’an yang hidup”.

Sesudah Islam berkembang ke segala penjuru, dan ummat Islam telah mampu menaklukkan para maharaja (super power) ketika itu, seperti Parsi di Timur dan Romawi di Barat, maka umat Islam mendapat kesempatan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.

Bang Imad mengakui menuntut ilmu memang diwajibkan oleh Allah bagi setiap Muslim, maka sangatlah digalakkan oleh Rasulullah SAW bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian sampai ke liang lahad, bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya ke negeri Cina sekalipun.

Maka, semua buku-buku yang mereka jumpai di dalam setiap perpustakaan lama di negeri-negeri Parsi, Yunani dan lain-lain mereka suruh terjemahkan dan isi buku-buku itu mereka mamah selahap-lahapnya.

Pikiran-pikiran ahli falsafah kuno seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Pythagoras dan lain-lain semuanya dipelajari mereka dengan bergairah.

Tentu ilmu-ilmu baru ini turut merangsang pengembangan daya pikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka pun menjadi pemikir-pemikir baru yang mampu melahirkan idea-idea baru pula.

Namun tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif. Di antaranya ada pula yang bisa menyesatkan, namun dengan semangat kebebasan berpikir yang telah diajarkan oleh Rasul Allah, para intelektual Muslim ketika itu terus maju dan meruak pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan cemerlang.

Tauhid, yang merupakan inti sari ajaran Islam, kemudian menjadi pembahasan di kalangan cendekiawan Muslim, sehingga berkembang menjadi suatu ilmu yang menerangkan bagaimana seharusnya seorang Muslim meng-Esa-kan Tuhannya.

Semangat mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah dan digalakkan oleh Rasulullah ini telah melahirkan banyak pemikir-pemikir Muslim, yang sampai sekarang pun masih dikagumi orang akan mutu intelektualitas mereka.

Sayang, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak selalu dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu perkembangan politik yang sehat dan Islami.

Perkembangan ilmu yang tidak boleh tidak menghendaki adanya sarana utama berupa kemerdekaan berpikir dan bergerak sudah tidak dapat dinikmati oleh umat sejak berubahnya sistem ketatanegaraan yang Islami di masa pemerintahan khalifah-khalifah yang bijaksana (Khulafa-ul Rasyidin) menjadi sistem dinasti yang feodalistis, yang memang sudah lama merupakan darah dagingnya masyarakat Arab Jahiliah.

Perubahan sistim ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat, dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimpinan ini, merupakan pokok pangkal perpecahan di kalangan para pemimpin, yang akhirnya meledak menjadi perang saudara.

Pada mulanya perang saudara ini hanya melibatkan daerah dan jumlah umat yang terbatas dan mudah diredakan oleh tekanan pengaruh para sahabat Rasul Allah yang masih sangat tinggi derajat iman dan tauhid mereka.

Namun, sesudah generasi para sahabat seluruhnya wafat, perang saudara yang kembali meledak telah memecah kesatuan umat dan merombak citra masyarakat yang telah susah payah dibina oleh Rasulullah SAW.

Sistem ketatanegaraan yang feodalistis telah terbukti tidak mampu menciptakan suatu mekanisme pengaman yang ampuh untuk mengawal perkembangan daya kritis para cendekiawan Muslim, yang dibarengi oleh melebarnya territorial dan membengkaknya kuantitas umat yang seolah-olah meledak, karena cepatnya.

Perbedaan pendapat yang seyogyanya lumrah di kalangan pemikir-pemikir Islam selalu disalah-gunakan oleh pemimpin-pemimpin politik kelas dua dan tiga demi kepentingan politik mereka.

Akibatnya, keretakan yang pada mulanya adalah sekadar perbedaan pendapat dan interpretasi tentang masalah pemimpin dan kepemimpinan berubah atau berkembang di kalangan umat menjadi perpecahan di bidang pemahaman dan penalaran akidah dan nilai-nilai syariah. Mulailah pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang satu menyalahkan pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang lain.

Pada puncaknya, murid Abu-al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al Asy’ari (wafat 300 H), umpamanya, mulai mengkafirkan murid Al-Hambali dan sebaliknya.

Umat yang awam tentu semakin bingung, walaupun kecintaan dan kemesraan mereka kepada Islam terus saja berkembang. Prasangka, rasa curiga, bahkan rasa benci satu kelompok terhadap kelompok yang lain dengan sendirinya berkembang terus di kalangan umat, yang akhirnya menyebabkan umat semakin hari semakin terpecah-belah. Perpecahan ini dengan sendirinya membuat umat bertambah lemah.

Perkembangan sesuatu penafsiran tidak lagi tergantung kepada kebenaran objektif dari penafsiran tersebut, tetapi lebih banyak tergantung kepada kedudukan politis dari penafsir.

Penanding sesuatu pendapat yang tidak beruntung dalam mendapatkan dukungan politik dari penguasa yang sudah tidak Islami akan menanggung risiko yang sangat mengerikan.

Banyak di antara ilmuwan yang berani istikamah (consistent) dengan pendapat mereka terpaksa mengalami penyiksaan yang luar biasa, seperti Abu Hanifah sendiri, misalnya, harus mengalami penjara selama sembilan tahun dan setiap harinya menderita sepuluh kali cambukan.

Sebagian dari ‘ilmuwan Muslim, yang dikhawatirkan pengaruhnya oleh penguasa yang zalim, sampai dicabut hak menyatakan pendapat mereka secara tidak berperikemanusiaan.

Banyak pula yang sampai kehilangan nyawa baik dibunuh langsung atau menemui maut ditekan penderitaan di dalam penjara seperti Taqiyy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (661 H./1263 M. – 726 H./1328 M).

Sebelum wafatnya, Ibnu Taimiyah ini mengalami penjara sebanyak tiga kali. Karena beliau terus saja menuliskan pendapat-pendapat dan penafsiran beliau untuk dibaca dan dipelajari oleh para pengikut beliau yang setia, walaupun sedang di dalam penjara, maka di dalam penjara yang ketiga kalinya beliau telah dipisahkan dari tinta dan kertas, sehingga beliau tidak dapat lagi menyatakan idea beliau yang sangat bernilai itu.

Siksaan terberat bagi setiap pendekar ilmu, yaitu pencabutan hak menyatakan pendapat ini, telah menyebabkan beliau akhirnya menghembuskan nafas beliau yang terakhir di dalam penjara ini.

Ketika umat Islam mencapai titik kelemahan mereka yang terendah akibat perpecahan dan perang saudara yang berkepanjangan, maka mulailah satu persatu negeri dan umat jatuh ke bawah kekuasaan penjajahan negeri-negeri Kristen dan Barat.

Dominasi dari luar yang tidak mungkin tertahankan lagi ini tidak hanya menghisap kehidupan materiel umat, tetapi lebih parah lagi, karena ia sekaligus bercorak penjajahan mental dan moral. Akibat penjajahan ini terhadap mental dan moral umat sedemikian parahnya, sehingga mayoritas umat kehilangan harga diri dan kepercayaan akan diri sendiri.

Umat yang semula berwatak pemimpin kemanusiaan, khalifah Allah, yang berwibawa serta kreatif, sehingga dijuluki Allah sebagai “Ummat terbaik di tengah-tengah kemanusiaan” (Khaira ummatin ukhrijat linnasi, Q. 3:110) telah berubah menjadi manusia-manusia berwatak hamba yang hina dina (asfala sa-fili-na, QS 95:5), karena roh Tauhid telah sirna dari kalbu-kalbu mereka.

Dengan sendirinya, pendidikan Islam tidak lagi terarah kepada penghayatan dan penalaran akan nilai-nilai Islam, yang sebenarnya penuh dinamika, melainkan telah berubah menjadi sekadar formalitas atau pengulangan-pengulangan formal akan nilai-nilai penurunan (derivated values), yang sudah membaku dan kaku.

Alhamdulillah, masa menurunnya kualitas umat ini telah mencapai titiknya yang terendah menjelang pertengahan abad ke-14 Hijriyah yang lalu. Menjelang akhir abad itu dan seterusnya di abad ke-15 ini, umat Islam hampir di setiap penjuru dunia telah bergerak kembali ke arah pendakian mutu dalam menghayati ajaran-ajaran agama mereka.

Pada mulanya, kelihatan gerakan ini sangat lamban dan tersendat-sendat. Kadang-kadang gerakan ini merupakan kejutan-kejutan, karena dihasilkan oleh kebangkitan kesadaran yang meledak (explosive), sebagai reaksi terhadap tekanan luar yang sudah melampaui batas daya tahan kemanusiaan.

Di dalam dunia intelektual gerakan-gerakan reaktif ini mula-mula berupa tangkisan-tangkisan apologetik, namun sedikit demi sedikit akhir-akhir ini telah meningkat menjadi bahasan ilmiah yang mematang.

Tuntutan umat akan pendidikan Islam yang bermutu mulai meningkat dari hari demi hari. Kebutuhan akan buku-buku Islam terus meningkat, terutama buku-buku yang menguraikan masalah pokok dan dasar dengan pendekatan yang sesuai dengan pemikiran zamannya.

Hampir di setiap kampus perguruan tinggi di seluruh negeri-negeri, yang didiami umat Islam, muncul gerakan-gerakan spontan untuk mempelajari kembali nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan di negeri-negeri Barat sendiri di kampus-kampus universitas di mana berkumpul mahasiswa-mahasiswa Islam bermunculan perkumpulan mahasiswa Islam dengan tujuan mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh.

Kejahatan Pagar Laut Pantai Tangerang: Jokowi Bertanggung Jawab

Oleh: Marwan Batubara, Petisi-100 Berita tentang kejahatan rezim Jokowi membangun “pagar laut” sepanjang 30 km di pantai Tangerang menjadi viral...

More Articles Like This