SAYA belum pernah kenal pribadi dengan Mas Kuntowijoyo, doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Gajah Mada. Bertemu langsung pun tak pernah. Almarhum dekat dengan Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi salah satu Pengurus Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam semasa jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai Buya Syafii Maarif.
Sejak awal 1980-an, saya membaca tulisan-tulisannya di Prisma mulai sepak terjang Syarikat Islam, nasib wiraswasta muslim yang menurun, juga Keislaman dan Ke-Indonesiaan dengan rasa Jawa. Barangkali itulah yang saya pahami. Tak terasa, saya berada dalam bingkai ”ideologis” dan dalam garis “berpolitiknya” Mas Kunto melalui pembacaan dan diskusi tentang isi pikirannya.
Dr. Kuntowijoyo adalah intelektual muslim dengan titel Ph.D dari universitas terkemuka Amerika Serikat. Dia berangkat dari seorang sejarawan dengan pisau bedah analitis sosiologis sekaligus sastrawan yang njawani, demikian pernah diungkapkan rekan seangkatannya Bakdi Sumanto. Kepastian sebagai penulis yang tajam, tekun dan inspiratif menempatkan buku-buku dan tulisan Kuntowijoyo menjadi acuan wajib bagi aktivis muslim.
Sebutlah buku Paradigma Islam interpretasi untuk Aksi dan kumpulan artikelnya yang terhimpun dalam buku Muslim Tanpa Masjid. Keduanya merupakan suluh dalam kegelapan pencarian setiap aktivis yang berkhidmah dalam Gerakan KeIslaman.
Karya-karya sastranya yang membawa perenungan mendalam kentara sekali pada salah satu cerpen yang berjudul Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Almarhum Mas Kunto sungguh sosok sastrawan Indonesia yang menonjol pada akhir abad 20 dan awal 21. Karya-karyanya memperoleh penghargaan nasional dan internasional, dari tingkat pemerintah daerah Provinsi DIY, Anugerah Kesetiaan Berkarya dari KOMPAS (2002) ASEAN Award on Culture, penerima Satya Lencana Kebudayaan RI (1997) dan lain-lain.

Novel Pasar dan Kumpulan Cerpen Kuntowijoyo adalah jejak kesastrawanannya yang lain, yang kian dirindukan untuk dibaca kembali setelah Kereta Api Yang Berangkat Pagi Hari, karya cerpen Kuntowijoyo yang konon sempat hilang, kini ditemukan kembali.
Tentang latarbelakang keluarga almarhum Kuntowijoyo, yang disebut sebagai kakeknya bertempat tinggal di Dusun Sentono, Desa Ngawonggo Kecamatan Ceper- Kawedanan Delanggu, Kabupaten Klaten. Sang kakek dikaitkan dengan nama-nama santri pejuang militer dalam Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari itu, menandakan bahwa Kuntowijoyo memang intelektual dan sastrawan yang santri turun-temurun.
Dusun Sentono – Ngawonggo bertetangga dengan Dusun Batur menyambung ke Desa Jambu Kulon merupakan kantong Islam Politik sejak zaman Masyumi, Parmusi, PPP hingga PAN dan PKB. Belakangan PKS mulai memasukinya. Sedangkan Desa Jambu Lor adalah basis PNI dan sebelahnya yakni Desa Jambu Kidul merupakan basis PKI. Dan di sini pembunuhan oleh kader PKI (Pemuda Rakyat dan BRI) terhadap aktivis PNI dan Muhammadiyah dimulai sebelum Jakarta 30 September 1965 meletus sepekan kemudian.
Notaris Yudoparipurno, kakak Mas Kuntowijoyo, juga aktif berpolitik dan pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PPP (unsur Syarikat Islam/PSII). Berbeda dengan gaya sastranya Pramudya Ananta Toer (ayahnya juga dari Klaten) yang galak dan menyerang, Mas Kunto amat halus dalam menyampaikan pesan-pesan politik dalam sejumlah cerpennya. Misalnya, dalam Pelajaran Pertama bagi Politisi dan Mantra Pejinak Ular.