Kamis, November 21, 2024
No menu items!

Selamat Datang Post Power Syndrome

Must Read

INI kisah Pak Karyo, sebut saja namanya begitu. Dia adalah pejabat tinggi, lebih tinggi dari wakil gubernur. Kala masih menjabat, wajahnya selalu berseri, penuh semangat dan vitalitas. Ia sangat dihormati oleh anak buah dan koleganya. Saban hari, ia selalu bertabur pujian dan sanjungan dari tetangga serta masyarakat sekitar.

Setiap pagi, sopir mengantarnya berdinas ke kantor dengan dua pengawal yang selalu menjaganya. Pak Karyo selalu tampil gagah dengan seragam kebesarannya. Ia sungguh menikmati status kepejabatannya. Anak dan istrinya pun terlihat berpenampilan “wah.” Kenyamanan, kehormatan, dan pujian diterima olehnya dengan senang hati, dan mungkin ia merasa ini abadi.

Pak Karyo kini sudah pensiun. Tapi, ia belum siap kehilangan jabatannya. Saban pagi, ia masih mengenakan pakaian kebesarannya dan meminta sang sopir mengantar berdinas ke kantornya. Awalnya, sang sopir bingung, tetapi lama-lama terbiasa. Pagi-pagi, ia mengantar Pak Karyo ke kantor gubernuran, lalu berputar-putar sebelum pulang.

Pak Karyo masih menggaji dua orang pengawal dan seorang sopir. Tugas mereka sama persis laiknya ketika Pak Karyo masih menjabat. Pada saat menghadiri undangan dari LSM atau organisasi massa, dua pengawal itu dibawa serta. Tugasnya adalah membuka pintu mobil dan memberi hormat saat akan turun dari mobil maupun saat akan naik ke mobil.

Secara materi, Pak Karyo berkecukupan dan di atas rata-rata rakyat negeri ini. Namun, bila dilihat dari hakikat kekayaan, ia masih miskin. Ia masih berharap pemberian dari negara dan belum bisa lepas dari tunjangan serta fasilitas yang rutin diterimanya. Lebih dari itu, ia masih butuh puja-puji dari tetangga dan anak buahnya.

Kadang susah, kadang senang. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang memimpin, kali lain dipimpin. Hari ini menjabat, besok kehilangan jabatan. Bagitulah hidup. Tapi, Pak Karyo tak siap jatuh ketika tengah menikmati kejayaan itu. Apa yang dialami Pak Karyo dalam dunia psikologi dikenal dengan post power syndrome.

Ada tiga aspek kehidupan kita yang mesti terpenuhi, yaitu aspek fisik, aspek rohani, dan aspek akal. Untuk benar-benar kaya, ketiga aspek tersebut harus terpenuhi. Sebaliknya, agar ketiganya terpenuhi, seseorang harus kaya.

Namun, dalam kasus Pak Karyo, fisiknya sudah pasti kaya. Begitu pula akalnya; intelejensinya tentu bagus karena dia jadi pejabat. Hanya saja, rohani, jiwanya masih miskin. Hidupnya menjadi pincang karena melupakan aspek rohani.

Boleh jadi ia termasuk orang yang rajin beribadah, tetapi tidak benar-benar memenuhi kebutuhan rohaninya. Soalnya, rohani atau mental atau keyakinannya menolak untuk tidak menjabat lagi.

Presiden Jokowi dan para menterinya sebentar lagi akan meninggalkan kursinya. Tengoklah mereka, adakah di antara mereka yang mengalami nasib seperti Pak Karyo?

Post power syndrome sungguh menyakitkan.

Buta Maritim, Namarin Kritik Erick Thohir Angkat Heru sebagai Dirut ASDP

JAKARTAMU.COM | Kabar mengejutkan datang dari industri maritim nasional. Pada Selasa, 19 November 2024 lalu, Menteri BUMN Erick Thohir...

More Articles Like This