PASCA pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka, hari ini juga Minggu 20 Oktober 2024, mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan segera pulang ke Surakarta. Penyambutan pun telah disiapkan.
Kiranya, dengan doa yang dipanjatkan, semoga semuanya berjalan damai, aman, sentosa dan lancar sesuai rencana. Kepada yang berangkat maupun yang pulang setelah paripurna tugas, bersama -sama diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
Betapa pun kontroversialnya selama menjabat Presiden RI dua periode (2014- 2024), Jokowi yang lahir dan besar di Solo adalah bagian dari sejarah kekuasaan penyelenggaraan negara dan pemerintahan di republik ini.
Presiden ke-7 kelahiran 21 Juni 1961 hadir selama 10 tahun dengan dukungan dan puja puji sekaligus keraguan dari mantan para pemujanya, bersama mereka yang sedari awal memang tidak memujinya. Terjadilah kemudian, tiga arus besar penyikapan terhadap Jokowi selama ini.
Kesatu, pemilih dan pencinta setia dari awal hingga akhir kekuasaan. Kedua, bukan pemilih dan cenderung menolak. Ketiga, arus yang berubah dari mendukung menjadi menyayangkannya.
Apa hendak dikata jika ambisi tiga periode ternyata tak terlaksana. Namun jalan lain ternyata terbuka. Lewat sang putra pertama yang mulus mendampingi Prabowo Subianto sebagai Wakil Presiden RI 2024-2029, Jokowi berhasil menancapkan pengaruhnya. Hingga batas waktu 20 Oktober tiba, lihatlah kesibukannya justru meningkat luar biasa.
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Intitusi Penegakan Hukum lainnya berhasil direkayasa dengan begitu sempurna. Reshuffle kabinet terus digulirkan dan hampir saja sebuah undang-undang pemilihan kepala daerah direvisi demi anak tercinta.
Hukum sebagai alat politik yang beku dan menunggu, berhasil dicairkan memenuhi dahaga kekuasaan, yang memang dari ”sananya” mempunyai watak kecenderungan korup dan semena-mena.
Silakan mengapresiasi atau mengkritisi dalam bingkai kata cawe-cawe yang konon tak menginginkan, tetapi toh kenyataannya dilakukan juga. Gagasan pemindahan ibu kota dan mobil Esemka, polemik ijazah sekolahnya, dan sebagainya, cukuplah sebagai catatan pinggir yang belum atau tidak terlaksana.
Begitu banyak yang diperdebatkan di khalayak dan menjelma menjadi kontroversi yang kian menjadi-jadi. Hujatan bersanding dengan pemujaan merekah di mana-mana, bak bunga setaman yang disuguhkan melalui jagat digital. Penyikapan bermotif merawat persatuan ditempuh dengan perengkuhan: Semuanya dapat bagian dan dijamin membahagiakan.
Proses penyatuan berbangsa dan bernegara, yang berproses lima tahun (2019-2024), menyemaikan kolaborasi antara pemenang dan pecundang, yang duduk satu meja makan kekuasaan. Agaknya, hal itu belum selesai karena ingin terus disempurnakan demi win-win solution, antara yang diganti dan yang menggantikan.
Betapa rumitnya menjalankan kekuasaan di negara besar nan kaya sumber daya alam namun terbatas sumber daya manusianya. Keterbatasan itu mencakup kemiskinan literasi, lebih suka upacara dan bermain muka, lebih menghendaki eksekusi ketimbang menyiapkan konsep dengan segala konsekuensi, pembangunan infrastruktur mendominasi pemberdayaan manusia, dan seterusnya.
Kita masih terbelenggu dengan warisan kolonialisme, yakni mentalitas kuli dan kulinya bangsa lain. Jangan menolak, bahwa kita pun sadar atau tidak, masih mewarisi tradisi, asumsi, dan struktur hukum sebuah negara kepolisian yang dibangun di atas ancaman, injakan kaki, dan kesenyapan yang menakut-menakuti. Politik memperalat hukum kian menjadi-jadi.
Dalam situasi serta kondisi kultur yang berselimut feodalisme dan tradisi kebekuan di atas, maka struktur akan jatuh sebagai hiasan belaka. Hentikan kebiasaan selalu menyalahkan bawahan ketimbang atasan karena itu akan memperjelas profilisasi otoritarian di hadapan demokrasi yang kian dikaburkan atas nama perguyuban bin persatuan. (*)