JAKARTAMU.COM — Ramadhan adalah bulan kejujuran dan kepedulian seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya; Bil khusus, kepada anak-anak yatim. Demikian antara lain disebut Al Ustadz Muhammad Nashihudin, pada forum pengajian Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jakarta Timur, pada Selasa 25 Maret 2025.
Ia mengawali paparan dengan menyetir firman Allah Subhanahu wa ta’ala, Surat An-Nisa ayat 2:
وَاٰ تُوا الْيَتٰمٰۤى اَمْوَا لَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِا لطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَهُمْ اِلٰۤى اَمْوَا لِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ حُوْبًا كَبِيْرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah huuban (dosa atau diancam adzab) yang besar.”
“Ada pun ayat-ayat mengenai pentingnya mempersiapkan generasi penerus dan peduli terhadap anak anak yatim cukup banyak di dalam Alqur-an,” ungkap Nashihudin.
Dengan adanya anak anak yatim di tengah masyarakat, tambah dia, tentu bermakna sanat penting untuk diperhatikan.”Tak hanya dipehatikan tanpa berbuat apa-apa, tetapi juga penting ditindaklanjuti bagaimana keadaan kehidupan mereka, demi meraih kesuksesan bagi masa depan mereka,” tegasnya.
Lebih lanjut Nashihudin mengajak jamaah pengajian agar mentadabburi ayat ayat berikut, untuk membumikan semangat Al Ma’un. Semangat ini tidak terlepas dari masa-masa awal pergerakan persyarikatan Muhammadiyah, yaitu semenjak KH Ahmad Dahlan yan kisahnya telah begitu banyak mengispirasi ummat Islam khususnya di tanah air.
Sekurangnya ada empat poin dalam upaya kaum mukminin memperhatikan dan mendorong agar dilakukan tindak lanjut dalam menghadapi anak-anak yatim, meliputi: Keberkahan dalam memberikan pelayanan, larangan memakan harta atau hak anak yatim, larangan menzhalimi anak yatim, dan terbukanya nilai-nilai kebaikan dalam mengangkat derajat anak-anak yatim.
- Ada keberkahan dalam memberikan pelayanan anak anak yatim
فِى الدُّنْيَا وَا لْاٰ خِرَةِ ۗ وَيَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰى ۗ قُلْ اِصْلَا حٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ وَاِ نْ تُخَا لِطُوْهُمْ فَاِ خْوَا نُكُمْ ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَاَ عْنَتَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 220)
- Larangan memakan harta atau hak anak-anak yatim
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَا لَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَا رًا ۗ وَسَيَـصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 10)
- Larangan berbuat zalim terhadap anak anak yatim
فَاَ مَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”
وَاَ مَّا السَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).” (QS. Ad-Duha 93: Ayat 9- 10)
- Nilai kebaikan membersamai kehidupan anak-anak yatim untuk mengangkat derajat mereka (Sebuah Kajian Tafsir Ibnu Katsir).
Al-Ma’un, ayat 1-7
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman, bahwa tahukah engkau, hai Muhammad, orang yang mendustakan hari pembalasan?
{فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ}
Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Al-Ma’un: 2)
Yakni dialah orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, menganiaya haknya dan tidak memberinya makan serta tidak memperlakukannya dengan perlakuan yang baik.
{وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ}
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al-Ma’un: 3)
Semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ وَلا تَحَاضُّونَ عَلى طَعامِ الْمِسْكِينِ
Sekali-kali tidak (demikian). sebenarnya kalian tidak memuliakan anak yatim, dan kalian tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (Al-Fajr: 17-18)
Makna yang dimaksud ialah orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk menutupi kebutuhan dan kecukupannya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ}
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (Al-Ma’un: 4-5)
Kajian tafsir lainnya, tambah Ustadz Nashihudin antaranya terdapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan shalatnya terang-terangan; Sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak shalat. “Itu sebabnya disebutkan oleh firman-Nya: bagi orang-orang yang salat. (Al-Ma’un: 4) Yaitu mereka yang sudah berkewajiban mengerjakan salat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya,” terang Nashihudin.
Hal ini, tandas dia, adakalanya mengandung pengertian tidak mengerjakannya sama sekali, menurut pendapat Ibnu Abbas. “Atau mengerjakannya bukan pada waktu yang telah ditetapkan baginya menurut syara’; Bahkan mengerjakannya di luar waktunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Masruq dan Abud Duha,” tandasnya.
Sedangkan Ata ibnu Dinar mengatakan bahwa segala puji bagi Allah yang telah mengatakan dalam firman-Nya: yang lalai dari salatnya. (Al-Ma’un: 5); Dan tidak disebutkan “yang lalai dalam shalatnya”.
“Adakalanya pula, karena mereka ini tidak menunaikannya di awal waktunya, melainkan menangguhkannya sampai akhir waktu secara terus-menerus atau sebagian besar kebiasaannya. Dan adakalanya karena dalam menunaikannya tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Dan adakalanya saat mengerjakannya tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya. Maka pengertian ayat mencakup semuanya itu,” sebut Nashihudin menyetir Ata ibnu Dinar.
Masih dalam Ata ibu Dinar, kata Nashihudin, mereka orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti dia mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh Surat Al Ma’un ayat 5. “Dan barang siapa yang menyandang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah baginya bagiannya dan jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya,” paparnya.
Hal lain disebut Nashihudin dalam kitab Sahihain telah disebutkan, bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah bersabda:
«تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَ أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهُ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا»
Itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk shalat) dan mematuk (shalat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.
“Demikian antara lain kajian beberapa tafsir yang sama mulai dengan tafsir Ibnu Katsir. Keadaan seperti pada penjelasan inilah, agaknya KH Ahmad Dahlan menggairahkan agar setiap orang shalat tidak melupakan anak-anak yatim di sekitarnya,” ceplos Nashihin.
Ia kemudian mengemukakan, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid telah menginformasikan bahwa jumlah anak yatim dan piatu yang tercatat di Indonesia pada 2023, mencapai kisaran angka 4 juta jiwa. Jumlah yang tidak tercatat dipastikan jauh lebih banyak.
Jika ditambah dengan jumlah fakir miskin, maka beban negara cukup besar untuk membantu hajat hidup mereka sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Sebagai kelompok rentan, anak yatim dan duafa telah menjadi perhatian Muhammadiyah sejak awal berdiri. Melalui teologi Al-Maun yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah sejauh ini telah membina sedikitnya 1.012 panti asuhan atau LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) di seluruh tanah air.
Kontribusi signifikan Persyarikatan kepada kelompok rentan ini, menurut Ketua Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mariman Darto cukup luar biasa. Dia memperkirakan jika Muhammadiyah menghabiskan dana sekitar 1,6 Triliun rupiah setiap tahunnya
KH Ahmad Dahlan memberikan pelajaran tentang surat Al Ma’un kepada para santrinya bertahun-tahun lamanya, sehingga para santrinya bertanya pada sang Kiai; Kenapa hanya surat Al Ma’un yang diajarkan Kiai? Pendiri Muhammadiyah ini, kala itu balik bertanya; Adakah kamu sekalian sudah memahami isi kandungan surat tersebut? Cobalah pelajari kembali dengan sungguh sungguh. “Demikian jawaban yang tepat dari Kiai Dahlan untuk para santrinya,” sebut Nashihudin.
Ternyata, kiai Ahmad Dahlan mengajak santri-santrinya agar melayani dan mengurusi anak anak yatim secara langsung bagaikan anak di keluarga sendiri. “Menurut Kiai Dahlan, anak-anak yatim perlu mendapat perhatian ekstra agar mereka jadi semangat dan optimistis dalam menjalani kehidupan yang akan datang, untuk meraih kesuksesan,” pungkas Nashihudin. (*agk)