JAKARTAMU.COM | Salah satu peristiwa besar yang ditunggu-tunggu warga Muhammadiyah adalah muktamar. Ini merupakan permusyawaratan tertinggi dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini.
Di masa kolonial Hindia Belanda, muktamar disebut sebagai kongres, dengan kegiatan utamanya adalah openbare vergadering (pertemuan terbuka) yang dihadiri oleh berbagai utusan cabang dan ranting Muhammadiyah.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923)” bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra” mencatat Kongres ke-17 telah menciptakan kesan mendalam pada ribuan orang. Kongres ini berlangsung di Yogyakarta dari 12 sampai dengan 20 Februari 1928.
BACA JUGA: Kisah Muhammadiyah Dimusuhi Umat Islam Sendiri: Zending Kristen Paling Dirugikan
Digambarkan, ratusan utusan dari semua desa Jawa dan dari Pantai Barat Sumatra, Aceh, Kuala Kapuas dan Makassar berkumpul selama 10 hari di Kota Gudeg, tempat kelahiran Muhammadiyah.
Meskipun tidak ada hotel, para peserta semuanya ditampung dan dapat membeli makan yang dapat dibeli dengan harga yang sangat murah, yakni f4,5 untuk konsumsi selama kongres.
Kongres itu juga dihadiri oleh 1.000 pandu yang menampilkan demonstrasi, dan arak-arakan besar. Ini dimungkinkan oleh komite penyambutan melalui berlimpahnya hadiah dan sumbangan, baik yang berasal dari pribadi maupun dari kalangan sendiri.
Sebuah daftar hadiah di sini bisa ditambahkan sebagai bukti bahwa organisasi ini memiliki banyak anggota.
Tiga perarakan besar dari anak-anak sekolah, kepanduan dan anggota biasa selama kongres ini diadakan, ketiganya menciptakan kesan mendalam, khususnya bagi para pengamat.
Pada perarakan pertama 9.000 anak ikut serta, semuanya dari sekolah Muhammadiyah, sementara kira-kira satu jam diperlukan untuk membariskan 20-30 ribu orang yang berada di ujung akhir barisan.
Sebagian alun-alun Utara ditutup satu lapangan. Di situ dibangun barak-barak untuk penginapan peserta. Salah satunya bangunan kongres, yang mampu menampung 2.000 orang.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan Wafat: Ketika Muhammadiyah Disusupi Komunis
Sementara barak lain digunakan untuk pameran berbagai karya kerajinan tangan dan batik para gadis, lukisan, peta (termasuk peta relief Hindia) yang dilengkapi dengan banyak bendera, yang merupakan simbol dari cabang dan ranting Muhammadiyah dan informasi tentang pendidikan, panti asuhan dan poliklinik Muhammadiyah.
Semua ini dibuat oleh para siswa sekolah Muhammadiyah sendiri, terkecuali karya batik yang dikirimkan oleh orang tua siswa, karena pameran selain sebagai bukti kerajinan para pemuda, juga bertujuan untuk kepentingan ekonomi.
Semua barak, terutama gedung kongres, dihiasi secara mewah dengan warna hijau dan kertas berwarna-warni.
Podium yang dibangun di tengah dengan dinding belakang merupakan sekretariat, ruang pengurus pusat dan para petinggi duduk, yang dihiasi dengan kain adat berwarna kuning.
Kongres ini dihadiri oleh Asisten residen Westra, mewakili residen, R.M. Koesoemo Oetojo, ketua Budi Utomo dan sejumlah wakil dari organisasi lain seperti PSI, PNI, PPPKI, dan Jong Jawa.
BACA JUGA: Wafatnya KH Ahmad Dahlan: Catatan Soerabajasch Handelsblad
Wal Fadjri tidak terwakili, meskipun dari pihak Muhammadiyah disampaikan bahwa semua organisasi ini diundang. Peserta yang hadir sekitar 2.000 orang, termasuk 300-400 perempuan yang duduk terpisah, dipisahkan dari kaum pria dengan sebuah kain yang direntangkan satu meter tingginya.
Pers juga terwakili. Polisi diwakili oleh Asisten Wedono bidang Reserse dan beberapa orang mantra polisi.
Dua tembakan meriam pada pukul 9.15 terdengar sebagai tanda dibukanya kongres sekaligus pertemuan ini. Kemudian dibacakan surat dari Paduka Sultan Yogyakarta, yang menyebutkan bahwa Sultan berhalangan hadir dan juga tidak bisa mengirimkan wakilnya karena di kraton sedang diadakan pesta, tetapi ia mengharapkan banyak keberhasilan dari kongres.
Patih diwakili oleh Raden Tumenggung Wirjokoesoemo, patih Danurejan. Acara dimulai dengan pidato ketua Hadji Ibrahim.
Setelah mengucapkan selamat datang kepada para tamu, ia memberikan peringatan dan teguran kepada anggota Muhammadiyah dan umat Islam lainnya yang hadir. Teguran itu bertujuan untuk mendorong orang-orang itu agar mematuhi kewajiban agamanya.
Selanjutnya ia juga mengutip ayat Qur’an yang diterjemahkan dan dijelaskannya dalam bahasa Jawa. Joenoes Anies, sekretaris-1 pengurus pusat, menyampaikan pidatonya secara jelas dan lancar dalam bahasa Melayu yang baik.
BACA JUGA: Islam Modernis: Bagaimana Islam versi KH Ahmad Dahlan Itu?
Inti pidatonya adalah tinjauan singkat tentang peristiwa yang terjadi selama tahun 1927 di seluruh dunia Islam. Dia memulai dengan menduga bahwa tidak ada kemajuan yang terjadi bagi umat Islam. Sebaliknya banyak rintangan dan hambatan yang muncul.
Pada mulanya ia menyebutkan kematian muktamar, al Islam Kongres di Makkah, yang disebabkan oleh perlawanan umat Islam India. Ia membenarkan kemajuan umat di Turki. Perubahan busana yang berlaku umum di sana, tidak disinggungnya sama sekali. Tidak ada ayat dalam Qur’an yang menentangnya.
Akan tetapi seluruh hukum Islam diganti dengan hukum Eropa, yang menurutnya tidak mungkin terwujud. Qur’an telah mengatur semuanya, baik hubungan manusia dengan Allah maupun manusia dengan sesamanya.
Dari PSII tidak banyak yang terdengar. Muhammadiyah tetap menunjukkan kedisiplinan. “Yang dimaksudkan kedisiplinan adalah tidak ada anggota PSI yang menjadi anggota Muhammadiyah,” ujar Djoko.
NU Mulai Hargai Muhammadiyah
Tentang Nahdlatul Ulama (NU) Joenoes Anies berharap agar mereka tidak lagi melontarkan kritik tajam terhadap Muhammadiyah. Untunglah bahwa semakin banyak anggota organisasi ini yang mulai memahami dan menghargai organisasi Muhammadiyah.
BACA JUGA: Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan Membendung Zending Kristen
Dilaporkan juga bahwa organisasi Nurul Haq di Kuala Kapuas telah menghubungi Muhammadiyah. Saat itu mereka telah membentuk sebuah cabang. Juga di Menado sebuah organisasi Islam juga menjadi cabang Muhammadiyah.
Ketoprak yang belakangan ini terkenal, sejenis wayang wong modern yang menarik perhatian banyak pemuda dan telah mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah.
Di Kulon Progo seluruhnya terdapat 14 grup ketoprak bubar dan anggotanya masuk Islam. Riba (bunga uang) sangat dicela oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu mereka mendukung munculnya organisasi antiriba di berbagai tempat di Jawa.
Terjemahan Qur’an dari Hadji Tjokroaminoto tidak disetujui oleh Muhammadiyah, karena ungkapan tafsirnya didasarkan pada unsur “Kebatinan” dan tidak menggunakan pandangan Nabi.
Oleh Abdul Alim Siddiki al Qadiri (intelektual India yang sempat mengunjungi Jawa), gerakan Ahmadiyah diserang. Muhammadiyah tetap berpegang pada Haditz lama.
Setelah kongres di Pekalongan yang diselenggarakan tahun 1927, jumlah cabang Muhammadiyah hanya sedikit, sebaliknya jumlah ranting bertambah. Pertumbuhan Muhammadiyah di Pantai Barat Sumatra menurut Joenoes Anies berlangsung dengan cara yang luar biasa. Dalam waktu singkat ribuan orang menjadi anggota.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan Mengubah Kauman: Kisah Berdirinya Masjid-Masjid Perempuan
Ketika itu di Sumatra hanya Minangkabau dan Aceh yang menerima Muhammadiyah. Dalam rapat tertutup yang pertama, yang dihadiri oleh Sutan Muhamad Zain, Sutan Mansur sebagai juru propaganda Sumatra juga mengisahkan bahwa ribuan orang yang memasuki organisasi ini di Pantai Barat dalam waktu singkat kembali keluar, sehingga ahli propaganda ini melontarkan dugaan bahwa mungkin mereka hanya menjadi anggota Muhammadiyah karena takut dituduh komunis atau dengan tujuan untuk menyembunyikan identitas komunisnya.
Penyebaran Islam tetap menjadi tujuan utama dan tugas utama Muhammadiyah. Selain di Yogyakarta, organisasi ini kala itu juga memiliki sebuah poliklinik di Solo, Tegal dan Semarang.
Dalam Volksraad, pertanyaan diajukan apakah Muhammadiyah akan meminta subsidi untuk mendirikan rumah bagi anggota militer yang beragama Islam. Untuk sementara Muhammadiyah menganggap waktunya belum tiba untuk menyelesaikan masalah ini. Juga dibahas tentang hambatan yang dialami Muhammadiyah yang datang dari pihak pemerintah.
Pertama-tama ia menyebutkan peristiwa yang terjadi pada mubalig Muhammadiyah di Kulon Progo. Meskipun mubalig ini telah mendapatkan izin untuk menyiarkan propaganda Islam, mereka harus menghadap kepada wedono atau asisten wedono setelah setiap pertemuan pada hari berikutnya untuk membacakan kembali semua yang telah mereka sampaikan pada petang hari sebelumnya.
Pada akhirnya mereka ditanya: apa arti semua itu? Kemudian mubalig baru diizinkan pulang. Dilaporkan bahwa persoalan ini telah disampaikan kepada residen Yogyakarta, yang memberitahu asisten residen Kulon Progo agar menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri tindakan itu.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Tidak Alergi terhadap Politik
Selanjutnya Joenoes Anies masih mengulangi persoalan Salatiga, ketika polisi bertindak memusuhi Muhammadiyah, yang terbukti dengan mempersulit diadakannya tabligh. Ia menyindir sikap polisi di Solo, yang tidak memahami Islam tetapi berani menilai dan mengadili pelajaran agama oleh mubalig Muhammadiyah.
Peristiwanya terjadi di Salatiga dalam sebuah perarakan, bendera Muhammadiyah tidak disertakan. Dalam tabligh, hanya seorang yang bisa bicara.
Di Kendal seorang guru desa diancam dengan pemindahan oleh penilik sekolah apabila dia menjadi anggota Muhammadiyah. Di Purbalingga, ketua cabang diancam akan dibunuh oleh seorang pengikut “kaum kuno”.
Di Jerabiu (Amuntai) Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Wahabi dan oleh karenanya tidak boleh mendirikan sekolah. Di Sigli Muhammadiyah disamakan dengan PKI.
Di Pantai Barat Sumatra kelompok adat pada umumnya berbicara sangat keras melawan organisasi ini. Haji Hadjid, anggota pengurus pusat yang ahli di bidang Islam, menyampaikan sebuah pidato panjang tentang sejarah Islam, seperti apa yang telah dia sampaikan di Pekalongan.
BACA JUGA: Membaca Pengajaran KH Ahmad Dahlan: Menolak Mistik Sufi
Yang penting adalah, dia ulangi, bagaimana Islam menjadi tidak berdaya ketika Ibnu Taimiyah dan siswanya Abdul Wahab sebagai mujahid (secara harafiah: pembaharu, tetapi dianggap sebagai pemurni) tampil.
Tradisi ini diteruskan oleh Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Di sini secara terbuka Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab, peletak dasar aliran Wahabi, diakui sebagai perintis.
Melaksanakan Karya Zending
Selanjutnya Mas Sastrosoewito, ketua cabang tabligh Muhammadiyah di Yogyakarta naik ke mimbar. Inti dari pidatonya adalah menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya ingin melaksanakan karya zending, memberikan kebaikan kepada penduduk dan mengubah cara pandang mereka.
Kemudian kemunculan peraturan guru merupakan akibat dari kerusuhan yang dicetuskan oleh Kyai Darmojoyo di Gedangan (Surabaya) yang mengakibatkan munculnya peraturan bagi guru pada 1905, yang sangat mempersulit penyebaran Islam. Sebagai akibatnya, terjadi kemunduran agama.
Peraturan guru yang baru tahun 1925 bersifat teoretis daripada peraturan sebelumnya, tetapi dalam praktiknya sangat memberatkan guru. Di Purbalingga seorang guru didenda karena dianggap menyebarkan agama Islam.
BACA JUGA: Tujuan Pendidikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan: Jadilah Kiai yang Maju
Di Vorstenlanden, orang tidak mengetahui sehingga terus berbuat demikian. Peraturan guru di sana belum diberlakukan. Menurut sebuah Lembaran Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta pada 1923, pihak kesultanan membebaskan penyelenggaraan tabligh. Namun dua orang mubalig di Kulon Progo dituntut dan didenda. Kongres ini merekomendasikan agar peraturan itu bisa dihapuskan.