JAKARTAMU.COM | Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air. Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan sebagainya.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan Mu’ammal Hamidy berjudul “Halal dan Haram dalam Islam” (Bina Ilmu, 1993) menjelaskan bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang kafir.
Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satu pun yang diharamkan dan tidak ada satu pun persyaratan untuk menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya.
“Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya,” ujar Al-Qardhawi.
Allah SWT berfirman: “Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut.” (QS an-Nahl: 14)
“Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar.” (QS al-Maidah: 96)
Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).
Binatang Darat yang Haram
Al-Qardhawi mengatakan tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.
Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan: “Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor.” (QS al-A’raf: 157)
Menurut al-Qardhawi, yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.
Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut: “Rasulullah SAW melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar.” (Riwayat Bukhari)
Dan untuk itu diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram: “Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram.” (Riwayat Bukhari)
Menurut al-Qardhawi, yang dimaksud Binatang Was (siba’), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.
Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.
Ibnu Abbas juga pernah berkata: “Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:
“Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali …” (al-An’am: 145)5
Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.
Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.
Menurut al-Qardhawi, yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara’ tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.