JAKARTAMU.COM | Cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan al-Qur’an menegaskan bahwa semua agama para Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Isa as adalah agama Islam.
Cak Nur menjelaskan ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS al-Hujarat 49 :14).
Jadi, kata Cak Nur dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah”, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan “Islam”, yaitu “tunduk” atau “menyerah.”
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Al-Iman” menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Ibnu Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah, “Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah” ( QS Fathir 35 :32).
Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan pelibatan dari dalam kebenaran.
Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mukmin, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja.
Dalam tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau zalim dan berbuat baik, bahkan ia “bergegas” dan menjadi “pelomba” atau “pemuka” (sabiq) dalam berbagai kebaikan, dan itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang muhsin.
Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab.
Sedangkan orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah.
Nama Agama
Cak Nur mengatakan pada saat ini, tentu saja, kata-kata “al-Islam” telah menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, “Islam” bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam Kitab Suci.
Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan: “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3 :19).
Maka selain dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam, perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu “pasrah kepada Tuhan,” suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar.
Inilah dasar pandangan dalam al-Qur’an bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan dari firman:
Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang zalim. Dan nyatakanlah kepada mereka itu, “Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah kepada-Nya (muslimun) (QS al-‘Ankabut 29 :46).
Cak Nur menjelaskan sama dengan perkataan “al-Islam” di atas, perkataan “muslimun” dalam firman itu lebih tepat diartikan menurut makna generiknya, yaitu “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan.”
Jadi seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun dalam makna asalnya juga menjadi kualifikasi para pemeluk agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga diisyaratkan dalam firman:
Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal telah pasrah (aslama – “ber-Islam”) kepada-Nya mereka yang ada di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa, dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, “Kami percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada Musa dan ‘Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah (muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain sikap pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali lmran 3 :85).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (muslimun) itu mengatakan yang dimaksud ialah “mereka dari kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikit pun, melainkan menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi yang dibangkitkan oleh Tuhan”.
Sedangkan al-Zamakhsari dalam taisir al-Kaskshaf memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai “mereka yang bertauhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya,” dan mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tauhid) dan sikap pasrah diri kepada Tuhan”.
Dari berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai “muslim” atau penganut “Islam”, adalah tidak benar dan tidak bakal diterima oleh Tuhan.
Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna “al-Islam” ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan bahwa “al-Islam” mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti difirmankan Allah, “wa rajul-an salam-an li rajul-in” (Dan seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki) (QS al-Zumar 39 :29).
Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:
Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, “Berserah dirilah engkau!’, lalu ia menjawab, “Aku berserah diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam.” Dan dengan ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya) (QS al-Baqarah 2 :130-132).
Katakanlah (hai Muhammad), “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia termasuk orang-orang musyrik.” Katakan juga (hai Muhammad), “Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari kalangan orang-orang yang pasrah.” ( QS al-An’am 6 :161-163).
Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kamu semua (aslimu) kepada-Nya sebelum tiba kepada kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. ( QS al-Zumar 39 :54).
Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibnu Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1976, hal. 72-3).
Cak Nur mengatakan berdasarkan pengertian-pengertian itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur’an bahwa semua agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrat dan iradat-Nya.
Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as. ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah kepada Tuhan (muslim) (QS. ‘Ali ‘Imran 3:67).
Demikian agama seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya’qub atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab Suci, demikian:
Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya’qub, dan ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, “Apakah yang akan kamu sekalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua pasrah (muslim) (QS al-Baqarah 2:133).
Kemudian tentang Nabi Musa as digambarkan melalui ucapan pertobatan Fir’aun bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu, agamanya pun sebuah agama Islam. Kata Fir’aun! yang berusaha bertobat setelah melihat kebenaran, “Aku percaya bahwa tiada Tuhan kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepadaNya)” ( QS Yunus 90 :10).
Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi Isa dan para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya pun adalah sebuah agama Islam, dalam arti agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:
Maka ketika Isa merasakan adanya sikap ingkar dari mereka (kaumnya), ia berkata, “Siapa yang akan menjadi pendukungku kepada Allah?” Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata, “Kamilah para pendukung (menuju) Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya). (QS Ali Imran 3:52).
Menurut Cak Nur, karena semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak ada agama atau sikap keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada Tuhan atau Islam itu.
Dan karena Islam pada dasarnya bukanlah suatu proper name untuk sebuah agama tertentu (para Nabi, Rasul dan umat terdahulu yang digambarkan dalam Kitab Suci sebagai orang-orang yang pasrah kepada Tuhan itu pun tidak menggunakan lafal harfiah “Islam” atau pun “muslim”) maka orang pemeluk Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan terserah diri kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya.
Hanya dengan itu agama dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal termasuk mereka yang merugi. Inilah yang sebenarnya dimaksud oleh firman Allah, “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS ‘Ali ‘Imran 3:19), serta firman Allah: “Dan barangsiapa menganut selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka yang menyesal”- (QS. ‘Ali ‘Imran 3:85).
Cak Nur menegaskan sudah terang bahwa Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman, karena ia dapat tumbuh hanya kalau seseorang memiliki rasa percaya kepada Allah yang tulus dan penuh.