BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Tahun ini merupakan Idulfitri penuh haru bagi Hala, mahasiswi Universitas Aisyiyah (Unisa) Bandung asal Palestina. Untuk kali pertama, dia merayakan Idulfitri di Indonesia, tepatnya di Tasikmalaya, Senin (1/4/2025), momentum ketika kebahagiaan dan kesedihan hadir secara bersama-sama kepadanya.
Hala senang bisa merayakan hari raya dalam suasana damai, namun dia tak bisa menyembunyikan kesedihan hati saat mengingat keluarganya yang masih berada di tengah konflik Gaza. Ia merasa beruntung bisa merasakan suasana Lebaran yang aman dan hangat di Indonesia, namun di sisi lain, hatinya teriris karena sanak saudaranya di Palestina masih berada di bawah ancaman bom dan kekerasan.
“Saya bahagia, tapi saya sedih. Mereka di bom setiap hari, setiap hari ada yang syahid,” ujarnya.
Hala menceritakan sejumlah perbedaan dalam tradisi Lebaran antara Indonesia dan Palestina. Menurutnya, di Palestina tidak ada tradisi mudik, meski banyak warganya yang merantau. Ziarah ke makam selepas salat Id juga bukan kebiasaan di negaranya. Bahkan, makanan khas seperti ketupat juga tidak dikenal di Palestina. Meski begitu, secara umum makna Lebaran tetap sama sebagai hari kemenangan dan silaturahmi.
Saat ini, Hala menjalani kuliah di program studi Keperawatan di Unisa Bandung melalui beasiswa. Ia mengungkapkan, keputusannya memilih jurusan itu terinspirasi dari kakek dan pamannya yang berprofesi sebagai perawat dan gugur saat menolong korban perang. “Saya ingin meneruskan perjuangan mereka menolong sesama sebagai perawat,” tuturnya.
Sejak setahun terakhir, keluarga Hala mengungsi ke Mesir. Ibunya kini dirawat di rumah sakit, ditemani empat saudara kandungnya. Sementara itu, Hala kehilangan kontak dengan sang ayah sejak pecahnya serangan besar terakhir. “Hingga saat ini, saya tidak tahu keberadaan ayah saya karena koneksi internet yang buruk di sana,” ungkapnya.
Hala juga menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi terbaru di Gaza. Ia mengatakan, Israel menyasar warga sipil, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua. Saat ini, menurut Hala, sekitar 1,5 juta penduduk Gaza hidup dalam keterbatasan tanpa akses air dan listrik. Bantuan dari luar pun sulit masuk karena blokade yang diperketat.
“Kalau semua warga Gaza keluar atau syahid, sudah tidak ada lagi Palestina dan tidak ada lagi Masjidil Aqsa,” kata Hala. Ia menegaskan bahwa setiap warga Palestina, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar, memegang tekad untuk tetap menjaga tanah suci tersebut. “Kami adalah penjaga terakhir Aqsa,” kata dia.