JAKARTAMU.COM | Niqab atau cadar berasal dari bahasa arab yang dalam kamus Munawir mempunyai arti kain tutup muka. Biasanya niqab terdiri dari kain yang terpisah dari kain jilbab, guna menutup wajah seorang perempuan, melengkapi sisa wajah yang tidak tertutup oleh jilbab.
Istilah niqab oleh orang Indonesia sering dikenal dengan sebutan cadar. Cara berpakaian semacam ini, biasa dilakukan oleh muslimah Arab Saudi dan beberapa penduduk negara Timur Tengah.
Model dari niqab tidak begitu banyak, ada yang hanya selembar kain secukupnya untuk menutup wajah yang memanjang ke arah bawah dagu. Ada yang lembar kain besar sekalian untuk kerudung dan jubah yang menutup sekujur tubuh perempuan, sebagai lapisan luar yang menutup pakaian lapisan dalam.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer” mengatakan pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat ra.
“Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat,” ujar Al-Qardhawi.
Mazhab Hanafi
Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat.
Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.” (QS an-Nur: 31 )
Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya (bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin).
Maka yang dimaksud di sini ialah ‘tempat perhiasan itu,’ dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.
Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak.
Selain itu, kemungkinan timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk dipandang, bukan untuk shalat.
Mazhab Maliki
Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
“Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat.”
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya, “Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram.”
Beliau berkata, “Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan kedua tangannya?” Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari ‘Iyadh.
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.
Mazhab Syafii
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi’iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:
“Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan – Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan – berdasarkan firman Allah ‘Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Wajahnya dan kedua telapak tangannya.’
Di samping itu, karena Nabi SAW ‘melarang wanita yang sedang ihram mengenakan kaos tangan dan cadar’. Seandainya wajah dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya.
Selain itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli, serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini tidak dianggap aurat.
Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu’, “Diantara ulama Syafi’iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, ‘Telapak kaki itu bukan aurat.’ Dan pendapat mazhab adalah yang pertama.”
Mazhab Hambali
Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (1: 601) sebagai berikut: Tidak diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya dalam salat, dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan telapak tangannya. Sedangkan mengenai telapak tangan ini ada dua riwayat.
Para ahli ilmu berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat bahwa ia boleh melakukan salat dengan wajah terbuka. Dan mereka juga sepakat bahwa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat, dan jika ia melakukan salat dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangnya.
Imam Abu Hanifah berkata, “Kaki itu bukan aurat, karena kedua kaki itu memang biasanya tampak. Karena itu, ia seperti wajah.”
Imam Malik, al-Auza’i, dan Imam Syafi’i berkata, “Seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam menafsirkan ayat, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,” Ibnu Abbas berkata, ‘Yaitu wajah dan telapak tangan.”
Selain itu, kata al-Qardhawi, karena Nabi SAW melarang wanita berihram memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya.
Selain itu, karena diperlukan membuka wajah dalam urusan jual beli, begitu pun kedua tangan untuk mengambil (memegang dan memberikan sesuatu.
Sebagian sahabat kami berkata, “Wanita itu seluruhnya adalah aurat, karena diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu aurat.”
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadits hasan sahih.” Tetapi beliau memberinya rukhshah (keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya karena jika ditutup akan menimbulkan kesulitan.
Dan diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang karena wajah itu merupakan pusat kecantikan. Dan ini adalah pendapat Abu Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, “Wanita itu seluruhnya adalah aurat hingga kukunya.”
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.
Mazhab-Mazhab Lain
Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu’:
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Di samping Imam Syafi’i, yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza’i, Abu Tsaur, dan segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata “Kedua kakinya juga bukan aurat.”
Imam Ahmad berkata, “Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja”
Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan dalam Nailul Authar (2: 55).
Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dan telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka terhadap ayat “apa yang bisa tampak daripadanya” (an-Nur: 31).