SEKITAR satu dasawarsa lalu, masyarakat mulai akrab dengan penampilan polisi dan tentara perempuan berjilbab atau berhijab. Wajah polisi wanita atau polwan dan tentara perempuan berjilbab memenuhi layar televisi hingga media sosial.
Sengaja atau tidak, mereka menjadi duta-duta komunikasi instansi yang kesannya angker, macho, dan garang. Pemandangan yang mustahil dilihat sebelumnya.
Penerimaan hijab sebagai bagian dari busana resmi Polri dan TNI tentu tidak datang begitu saja. Apa yang sekarang terlihat lazim ini merupakan buah usaha keras bertahun-tahun.
Tidak gampang meyakinkan pemerintah sekaligus mematahkan stigma negatif khalayak tentang hijab, yang bahkan sempat dilarang penggunaannya di sekolah pada masa pemerintah Orde Baru.
Penggunaan hijab di lingkungan Polri dan TNI saat ini juga kian mengukuhkan peran penting perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Kisah sederhana berikut mengonfrmasinya.
Baca juga: Asma Assad: Mawar di Padang Pasir Itu Menjadi Paria Internasional
Pada suatu hari di tahun 2012, almarhum Dr. Abdul Fatah Wibisono MA memberikan ceramah pada pengajian di di Masjid Baiturrahmah Komplek perguruan Muhammadiyah Kramat Jati, Jakarta Timur.
Dalam pengajian itu, ada peserta yang bertanya mengenai boleh tidaknya satuan pengaman tetap berjaga ketika salat Jumat tetapi menggantinya dengan salat zuhur. Ki Ageng Abdul Fatah, begitu mantan ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah biasa diperkenalkan, tidak langsung mengatakan tidak boleh.
Tokoh yang dikenal kuat memegang prinsip tetapi santun menyikapi dan menyampaikan perbedaan pendapat ini secara diplomatis mengatakan, ”Laki-laki sehat, bukan musafir, tidak dalam keadaan darurat, tanpa udzur syar’I, wajib jumatan. Silakan di sini mengangkat satpam perempuan,” ujar Ki Ageng Abdul Fatah.
Begitulah, Ki Ageng yang wafat menjelang subuh di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Cempaka Putih Jakarta Timur pada Minggu, 13 Januari 2013 itu memberikan pelajaran yang sangat berharga.
Baca juga: Haedar Nashir: Agama Kini Sudah Jadi Produk Entertainment
Seorang muslimah berhak mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi dan sebagainya. Untuk itulah wajib ada dokter dan tenaga medis muslimah, guru sampai dosen muslimah, juga sopir sampai tukang ojek.
Bahkan pekejaan atau profesi tuklang pijat, tukang urut refleksi juga membutuhkan muslimah, demi melayani semua kebutuhan para muslimah lain. Ini pun berlaku pada satpam, polisi, dan tentara.
Satu dasawarsa lalu, tidak gampang bagi muslimah berhijab mendaftar menjadi polisi atau tentara. Tetapi alhamdulillah sejak 25 Maret 2015 Surat keputusan Kapolri yang ditandatangani Wakapolri Badrodin Haiti telah membolehkan penggunaan hijab di lingkungan Polri.
Badrodin adalah anak Kiai Ahmad Haiti, ulama besar pendiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran Jember. Melalui SK tersebut polisi muslimah berhijab pun bisa berperan sebagai pembina kamtibmas dan penegak hukum. Ini adalah dakwah langsung, contoh seorang polisi muslimah menjalankan tugas dengan baik dan amanah.
Setelah polisi dan tentara, ke depan penting dipikirkan untuk membentuk satuan pengaman (Satpam) berhijab di setiap instansi dan perusahaan, sesuatu yang belum mendapat perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat luas. (*)