KUDETA berdarah yang seharusnya dilakukan 1970 dipercepat 30 September 1965. Tapi ternyata TNI Angkatan Darat yang telah terpecah menjadi tiga faksi masih mampu melawan PKI.
Aliansi Nasution segera bersatu dengan Soeharto dan pengikut Ahmad Yani. Ketiganya adalah faksi anti-PKI dalam kadar berbeda. Ditopang Kemal Idris dan Pangdam Siliwangi HR Dharsono, ketiganya menghadapi PKI.
PKI, yang didukung beberapa jenderal simpatisan seperti Pranoto Reksosamudro (Asisten I Menpangad), Brigjen Suparjo, Brigjen Kelik Suharyo, serta dua batalyon pasukan lintas udara 454 Diponegoro dan 505 Brawijaya, akhirnya bisa dinetralisir. Resimen Tjakrabirawa, terutama Batalyon Letkol Untung Samsuri, menjadi target likuidasi awal.
Angkatan Kepolisian (khususnya Brimob), Angkatan Udara, dan Resimen KKO Angkatan Laut yang pro-Soekarno serta sebagian simpatisan PKI dibuat tak berkutik. Menurut Nasution dan Soeharto, pasukan yang terpengaruh PKI dan Soekarnois sebenarnya cukup dominan. Namun, setelah Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil mengendalikan Jakarta, banyak di antara mereka yang mulai ragu dan memilih menunggu situasi.
Pasca 11 Maret 1966, dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto semakin nyata. Pembubaran PKI dan organisasi sayapnya seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, SOBSI, CGMI, IPPI, HSI, dan Lekra menandai transisi kekuasaan.
Pada 1966–1968, terjadi perang dingin di tingkat elite politik Jakarta, sementara di akar rumput berlangsung pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, di mana Gubernurnya, Sitepu, juga tersangkut PKI.
TNI AD, terutama RPKAD (kini Kopassus), aktif bergerak di daerah-daerah tersebut, melatih pemuda dari berbagai organisasi seperti GPM (PNI), Kokam (Muhammadiyah), serta Ansor dan Banser (NU). Pemuda Muhammadiyah membentuk Kokam, sementara GP Ansor melahirkan Banser pada awal November 1965.
Beberapa tokoh penting seperti Kolonel Projokusumo dari Muhammadiyah dan KH Yusuf Hasyim dari GP Ansor turut memainkan peran. Singkat cerita, perpaduan gerakan elite Jakarta dengan mobilisasi massa mengakhiri dualisme Soekarno-Soeharto pada 1968.
Melompat ke masa kini, bukankah kita sedang menyaksikan situasi yang serupa? Prabowo Subianto tampaknya menghadapi tantangan laten dari gerilya politik Jokowi, yang bertumpu pada kekuatan relawan, kelompok “Coklat,” serta para oligarki.
Dualisme kekuasaan mungkin terjadi, meskipun dalam bentuk yang lebih halus. Secara konstitusional, Jokowi memiliki jangkar politik dalam sosok Gibran, sang wakil presiden yang juga merupakan benteng politiknya. Siapa yang lebih dulu terjegal? (*)