Senin, April 21, 2025
No menu items!

Siti Walidah: Cahaya Abadi Perempuan Berkemajuan

Must Read

Kenangan, Sejarah, dan Romantika Perjuangan Sang Ibu Bangsa

JAKARTAMU.COM | Wanita ini bukan R.A. Kartini. Namanya barangkali jarang disebut dalam buku teks pelajaran sekolah, tidak pula ramai diperbincangkan di forum-forum sejarah populer. Tapi siapa sangka, dari rahim sejarah yang sunyi, justru dialah cahaya yang tak pernah padam: Siti Walidah, tokoh perempuan Muhammadiyah, istri dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, sekaligus satu dari sedikit perempuan Indonesia yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena keteladanan hidup dan amal perjuangannya yang nyata dan berkelanjutan.

Siti Walidah bukan hanya simbol perjuangan emansipasi perempuan di zamannya. Ia adalah sosok yang memilih berjalan lebih jauh dari sekadar menyuarakan hak-hak perempuan. Ia bertindak. Ia membentuk. Ia mencipta. Ia merawat perubahan. Bukan dari gelap menuju terang seperti narasi yang kerap kita dengar, tetapi membawa terang itu sendiri ke tengah masyarakat melalui kerja kolektif dan kebudayaan berkemajuan.

Perempuan dari Kauman, Jantung Spiritualitas Jawa

Siti Walidah lahir pada tahun 1872 di Kauman, Yogyakarta, sebuah kawasan yang menjadi pusat spiritualitas Islam dan kehidupan para santri di jantung Keraton. Ia tumbuh dalam lingkungan religius yang kuat, sekaligus menyaksikan langsung keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan dan kehidupan publik. Alih-alih tunduk pada batasan zamannya, Walidah justru menantangnya dengan penuh kelembutan dan keyakinan. Pendidikan pertamanya didapat dari lingkungan keluarga, dari pengajian-pengajian yang digelar di serambi rumah.

Di usia muda, ia menyaksikan bagaimana perempuan dibungkam secara struktural—dilarang sekolah tinggi, dikebiri perannya di ruang publik, dan dijadikan simbol kesantunan semata. Maka ketika ia kemudian menikah dengan Ahmad Dahlan—seorang pembaru Islam yang berpandangan maju—ia tidak hanya menjadi istri, tetapi mitra strategis dalam membangun gerakan.

Aisyiyah: Manifesto Peradaban untuk Perempuan

Tahun 1917, Siti Walidah mendirikan organisasi perempuan yang diberi nama ‘Aisyiyah. Ini bukan sekadar organisasi pengajian. Ini adalah revolusi senyap. Melalui ‘Aisyiyah, Siti Walidah mengorganisir perempuan agar melek huruf, mengaji, belajar ilmu kesehatan, keterampilan hidup, dan yang paling penting: berani memimpin.

‘Aisyiyah menjadi wadah kolektif perempuan pertama di Indonesia yang berbasis Islam dan konsisten memperjuangkan pendidikan perempuan sebagai jalan pembebasan. Ia menjelma menjadi lokomotif peradaban yang kelak melahirkan berbagai institusi modern yang hingga hari ini menjadi mercusuar pelayanan sosial umat.

Karyanya tidak berbentuk buku kumpulan surat. Ia tak pernah menulis buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Namun buah pikir dan kerja-kerjanya mewujud dalam ribuan Taman Kanak-kanak ‘Aisyiyah, Rumah Sakit dan Klinik Aisyiyah, perguruan tinggi Aisyiyah, panti asuhan, panti wreda, daycare lansia, balai latihan kerja perempuan, rumah singgah, bahkan panti difabel dan rumah sakinah yang tersebar dari kota hingga pelosok-pelosok desa.

Jika Kartini menulis tentang impian masa depan perempuan, Siti Walidah mewujudkan impian itu dengan kerja-kerja nyata.

Bukan Sekadar Penggerak, Tapi Ibu Peradaban

Dalam berbagai muktamar Muhammadiyah awal abad ke-20, Siti Walidah hadir dan duduk sejajar dengan para ulama dan pemikir lelaki. Dalam era yang bahkan perempuan belum dianggap sebagai subjek politik dan sosial, Siti Walidah justru menjadi pemimpin sidang, penyampai pidato, bahkan penentu arah gerakan perempuan Muhammadiyah.

Ia tidak menuntut kesetaraan dengan cara melawan, melainkan merajutnya melalui kontribusi. Ia tidak menyerang dominasi laki-laki, melainkan memperkuat nilai Islam yang memuliakan perempuan. Dalam dirinya, Islam dan kemajuan perempuan tidak dipertentangkan, tapi dipadukan.

Ia bukan perempuan yang kelahirannya dirayakan setiap tahun. Tak ada tanggal merah khusus untuk mengenangnya. Tapi warisan perjuangannya dilanjutkan setiap hari—oleh jutaan kader ‘Aisyiyah, oleh ribuan guru dan tenaga kesehatan, oleh para relawan sosial yang terinspirasi semangat keikhlasannya.

Pahlawan yang Tak Menunggu Pengakuan

Pada 10 November 1971, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Siti Walidah. Terlambat? Mungkin. Tapi sejarah tetap mencatatnya sebagai salah satu perempuan pertama dalam sejarah Indonesia yang mendapat gelar tersebut bukan karena perang senjata, tetapi karena perang gagasan dan aksi sosial.

Ia wafat pada tahun 1946 dalam usia 74 tahun. Tapi namanya terus hidup dalam karya. Ia adalah perempuan yang mencetak generasi, bukan sekadar mencetak nama.

Hari ini, saat kita mengulas kembali sejarah perjuangan perempuan, nama Siti Walidah seharusnya berdiri di garda depan. Ia adalah simbol kemajuan tanpa keributan. Pahlawan dalam diam. Pemimpin yang tidak mencari sorotan.

Dan benar adanya, ia bukan Kartini. Ia adalah Siti Walidah.
Bukan hanya membawa perempuan dari gelap menuju terang,
Tapi membawa terang itu sendiri untuk menyinari peradaban.

Jalan Kaki Setiap Hari: Sebuah Investasi Sederhana untuk Kesehatan dan Ketenangan Jiwa

JAKARTAMU.COM | Pernahkah kita benar-benar menghitung, berapa menit dalam sehari kita luangkan untuk berjalan kaki? Bukan sekadar berpindah...
spot_img

More Articles Like This