JAKARTAMU.COM | Kalimat ini menjadi sindiran tajam yang beredar di media sosial, menggambarkan betapa lambannya respons aparat terhadap sebuah skandal yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Sebuah pertanyaan besar pun muncul: apakah ini benar-benar upaya penegakan hukum, atau hanya sebuah drama politik yang dipentaskan di saat yang “tepat”?
Lama Mengendap, Baru Bergerak: Ada Apa?
Bukan sekali dua kali kasus besar di negeri ini baru diselidiki setelah bertahun-tahun berlalu. Dari skandal keuangan, pengoplosan pangan, hingga kasus-kasus korupsi besar, sering kali tindakan tegas baru muncul setelah tekanan publik semakin memuncak—atau setelah ada kepentingan politik yang mengharuskannya.
Dr. Indra Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Indonesia, menyoroti fenomena ini sebagai pola yang berulang. “Dalam banyak kasus, proses hukum di Indonesia sering kali tidak berjalan secara independen. Ada faktor kepentingan politik, ekonomi, atau bahkan tekanan internasional yang membuat kasus-kasus tertentu baru diungkap setelah bertahun-tahun,” ujarnya.
Senada dengan itu, pengamat kebijakan publik, Dr. Siti Rahmawati, menambahkan bahwa sidak yang datang terlambat sering kali lebih bersifat kosmetik daripada substansial. “Ini bisa jadi bentuk damage control atau strategi untuk menciptakan kesan bahwa pemerintah dan DPR masih bekerja,” katanya.
Namun, pertanyaannya: jika sidak ini dilakukan lebih awal, bukankah kerugian negara bisa dicegah? Jika skandal ini sudah berjalan sejak 2018, bagaimana mungkin tidak ada yang mengetahui atau setidaknya mencium kejanggalannya?
DPR: Pengawas atau Pemain?
Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi kebijakan eksekutif dan memastikan kesejahteraan rakyat, DPR seharusnya menjadi garda terdepan dalam membongkar skandal-skandal yang merugikan negara. Namun, realitas sering kali menunjukkan hal yang berbeda.
Dalam berbagai kasus, DPR justru terkesan lamban, atau bahkan pasif, sampai skandal yang bersangkutan sudah tidak bisa ditutupi lagi. Beberapa anggota dewan malah terlihat lebih sibuk dengan agenda politik pribadi, dibandingkan menjalankan fungsi kontrol mereka dengan baik.
Tidak sedikit pula yang menduga, keterlambatan sidak ini bisa jadi terkait dengan konflik kepentingan di dalam parlemen itu sendiri. Seorang analis politik yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, “Ada kemungkinan bahwa pihak-pihak tertentu di DPR sebenarnya sudah tahu sejak lama, tapi memilih diam karena ada keuntungan politik atau ekonomi yang bisa diperoleh.”
Di sisi lain, ketika sebuah kasus akhirnya dibuka ke publik, hal itu bisa dimanfaatkan sebagai alat politik. “Bisa jadi ini semacam kartu yang sengaja disimpan untuk digunakan di momen yang pas, misalnya menjelang pemilu,” kata analis tersebut.
Dampak bagi Rakyat: Lebih dari Sekadar Drama
Sementara para elite sibuk bermain strategi, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Jika skandal ini terkait dengan distribusi pangan, berapa banyak masyarakat yang sudah mengonsumsi produk ilegal atau berbahaya? Jika terkait keuangan negara, berapa triliun yang sudah raib sebelum tindakan diambil?
Lambannya respons ini mencerminkan betapa lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di negeri ini. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR semakin tergerus, dan rakyat pun semakin skeptis terhadap setiap langkah yang diambil oleh para pemangku kepentingan.
Sidak atau Sekadar Sandiwara?
Pada akhirnya, sidak yang baru dilakukan di tahun 2025 ini lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang jawaban. Apakah ini benar-benar bagian dari penegakan hukum yang serius, atau hanya pertunjukan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu lain?
Sebagaimana yang sering terjadi, kemungkinan besar kasus ini akan ramai dibahas sebentar, lalu perlahan menghilang dari pemberitaan—tanpa ada konsekuensi nyata bagi para pelaku utama. Jika skenario ini kembali terjadi, maka negeri ini tidak hanya menghadapi krisis hukum, tetapi juga krisis moral dan kepercayaan terhadap sistem yang seharusnya melindungi rakyat.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Indra Wicaksana, “Keadilan yang tertunda bukanlah keadilan. Jika pemerintah dan DPR serius ingin menegakkan hukum, tindakan harus dilakukan sejak awal, bukan ketika sudah terlambat dan dampaknya sudah meluas.”
Maka, pertanyaan terakhir yang perlu kita renungkan: DPR, kalian ini pengawas atau justru bagian dari masalah? (Dwi Taufan Hidayat)