Oleh: Fathorrahman Fadli | Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) dan Dosen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pamulang
Pembangunan bidang ekonomi yang selama ini berjalan, diakui atau tidak telah membawa bangsa ini pada kebangkrutan. Penumpukan kapital dari negara hanya menempel pada sege lintir orang. Inilah sebenarnya muara dari prinsip ekonomi kapitalis, sebab kapital dan resources yang sejatinya milik negara, pada kenyataannya tidak mampu mensejahterakan rakyatnya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa resources negara yang begitu besar justru menyeret rakyatnya menjadi miskin. Mengapa kas dari negara kosong di tengah kekayaan negara yang sangat berlimpah? Mengapa negara kemudian kalah dan diatur-atur oleh kekuatan kapitalis yang menghisap sumber daya alam negara?
Untuk menjawab hal itu tidak membutuhkan pemikiran dan teori yang terlalu rumit. Sebab jawaban yang rumit dan penuh teori hanya semakin membingungkan dan tidak mencerahkan. Apalagi mampu mencarikan solusi atas masalah pokok yang sedang diderita negara dan rakyatnya.
Negara yang baik dan modern tak ubahnya sebagai pemerintah yang modern. Moderen atau tidaknya suatu rezim pemerintahan sangat ditentukan oleh prinsip rasionalitas dalam menentukan kebijakan publiknya. Kebijakan publik yang baik ditentukan oleh seberapa besar kemanfaatan kebijakan pemerintah yang mewakili negara dalam mensejahterakan rakyatnya.
Disinilah ilmu manajemen negara sangat diperlukan dalam tata kelola negara agar dapat mencapai tujuan pokok dalam bernegara?
Apakah krisis ekonomi suatu negara disebabkan oleh buruknya manajemen negara? Betul sekali!
Manajemen negara yang buruk akan menghasilkan negara gagal yang tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu dalam usaha mengelola negara tidak bisa seorang presiden bersikap ugal-ugalan, tidak pakai ilmu modern, dan berbuat tidak adil pada rakyatnya.
Sosialitas Ekonomi
Sosialitas ekonomi sejatinya istilah yang tidak begitu dikenal dalam historical theory ekonomi dunia. Ia adalah bentuk pemikiran ekonomi neo-sosialisme yang dikembangkan oleh negara-negara yang memiliki kesadaran baru bahwa ekonomi harus diarahkan dan dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bukan seperti yang terjadi dalam negara sosialis kuno yang dalam praktiknya masyarakat dikungkung agar hidup dalam kecukupan dasar ekonomi, sementara elit politik dalam negara hidup dalam kelimpahan ekonomi. Ekonomi sosialis kenyataannya telah membunuh inisiatif ekonomi individual untuk berprestasi secara ekonomi.
Sosialitas ekonomi juga bukan berarti sebagaimana yang terjadi dalam negara liberal kapitalis dimana ekonomi dibangun atas dasar kemampuan dan prestasi individual secara bebas tanpa batas. Pada kenyataannya kedua model ekonomi itu pada faktanya telah menyeret negara pada kebangkrutan.
Amerika yang liberal dan kapitalistik disatu sisi sudah menampakkan kebangkrutan ekonomi dan sosialnya. Uni Sovyet yang komunis sosialis telah bangkrut tidak sampai 100 tahun. Sebab pada faktanya prinsip-prinsip sosialisme ekonomi yang ekstrim bertentangan dengan kenyataan hidup masyarakatnya.
Ekonomi Negara Pancasila
Bagaimana dengan bangunan ekonomi yang seharusnya dibangun dalam negara Pancasila. Secara politik, pakar hukum tata negara Dahlan Ranuwihardjo mengatakan bahwa Indonesia adalah bentuk negara ketiga selain negara teokrasi dan negara sekuler. Negara Pancasila adalah negara yang tetap meletakkan Tuhan/
Allah sebagai Pencipta alam raya yang melahirkan inspirasi hidup, dan pada saat yang sama, negara Pancasila juga percaya bahwa kenyataan dunia sebagai fakta objektifnya.
Jadi secara filosofis, negara Pancasila tidak pernah terlibat secara ekstrim untuk menyeret negaranya menjadi Negara Teokrasi maupun Negara Sekular. Negara Pancasila juga bukan negara yang ekstrim atas keduanya. Ia adalah bentuk atau jenis negara yang selalu adaptif terhadap nilai-nilai ketuhanan sekaligus nilai-nilai kebaikan (maslahat) dalam masyarakat.
Negara Pancasila dapat mengembangkan ekonomi sosialis jika keadaan negara sedang berada dalam posisi ekstrim kapitalis. Begitu juga negara Pancasila dapat mengembangkan model ekonomi kapitalis jika keadaan terlalu mengarah pada sosialisme yang ekstrim. Dengan demikian, maka ekonomi Pancasila menganut prinsip ekonomi keseimbangan dan berkelanjutan (balanced and sustainable economy).
Ekonomi negara Pancasila tidak mengenal penumpukan kapital pada segelitir orang. Sebab penumpukan itu telah menutup akses ekonomi orang lain untuk meraih kesejahteraan dalam hidupnya. Begitu pula sebaliknya, ekonomi Pancasila bukan model ekonomi negara sosialis dimana rakyatnya hidup pas-pasan sementara elit politiknya hidup bermewah-mewah sebagai mana yang terjadi di Polandia saat dipimpin oleh Lech Wałęsa.
Pengalaman Polandia
Di Polandia dan mungkin di negara-negara komunis Eropa Timur lainnya dapat dilihat apa artinya “demokrasi rakyat”. Ternyata rakyatnya sama sekali tidak menentukan apa-apa dan sekadar sebagai robot mematuhi perintah pimpinan partai Komunis. Yang berlainan pendapat atau para pembangkang disingkirkan, bahkan dieliminir. Nampak sekali ada perbedaan besar antara pemimpin partai dan rakyatnya.
Para pemimpin partai komunis di Polandia hidup dalam serba kemewahan: menempati
rumah-rumah mewah di suatu “satellite city”, terpisah dari Warsawa, dengan segala fasilitas modern antara lain toko-toko yang mereka tidak perlu antre. Kebanyakan pemimpin partai komunis berkendaraan Mercedes. Ada pula yang mempunyai simpanan uang di bank di luar negeri antara lain di Swiss. Ada yang mempunyai vila di daerah pegunungan dengan memelihara kuda pacuan dan/atau mempunyai vila di pantai Lautan Baltik lengkap dengan kapal layar (yacht) yang mewah. Tetapi anehnya pemerintah Polandia melarang pembangunan lapangan golf, karena dianggap berbau kapitalisme.
Untuk rakyat memang dibangun perumahan (apartemen). Namun jumlahnya tidak mencukupi. Apartemen dengan tiga kamar nampak mewah, tetapi dihuni oleh tiga keluarga! Akibatnya keluarga Polandia umumnya mempunyai satu anak atau tidak sama sekali. Karena itu pada 1971 ada sejumlah Sekolah Dasar yang ditutup, karena tidak ada muridnya, tidak ada population growth.
Makanan bagi rakyat “diransum”, ditentukan banyaknya, beratnya, harganya dan sebagainya yang dapat dibeli rakyat. Biasanya di tempat-tempat penjualan barang-barang makanan terdapat orang antre panjang. Bahkan sering terjadi, bahwa sampai pertengahan barisan, barang dikatakan sudah habis oleh penjual. Hal semacam itu sering dialami oleh pegawai setempat KBRI, jadi bukan merupakan cerita yang dibuat-buat. Pembeli tidak boleh memilih barang, misalnya di toko daging. Si pembeli harus menerima apa yang diberikan si penjual yang boleh jadi hanya setumpuk tulang. Kalau hal-hal ini yang dimaksud Menlu Polandia dengan kemajuan dan kesejahteraan Polandia, saya kira hal itu adalah bohong belaka.
Di Eropa Timur yang pegang kendali adalah Uni Soviet. Negara-negara Eropa Timur tunduk pada pimpinan Moskow. Sebagian besar dari hasil industri Polandia harus dijual kepada Uni Soviet, yang membayar dengan harga yang jauh lebih rendah daripada ongkos produksi, atau dibayar dengan gandum. Pemerintah negara-negara Eropa Timur dikendalikan dari Moskow secara “remote control”. Maka tidak mengherankan
kalau semakin banyak timbul gerakan-gerakan yang akhirnya berani muncul ke permukaan berupa “Solidarnosç” yang dipimpin Lech Walensa.
Lalu bagaimana dengan Indonesia ditangan Prabowo Subianto?
Rasa-rasanya penting kiranya Prabowo mengarahkan sistem politik dan ekonomi kita berdasarkan prinsip negara Pancasila. Sebab Pancasila adalah dasar kita bernegara. Secara politik, terutama aspirasi rakyat disalurkan secara baik danlancar melalui sistem perwakilan yang baik pula. Sedangkan untuk menumbuhkan ekonomi nasional harus memperhatikan prinsip sosialitas ekonomi negara Pancasila yang adaptif dengan dinamika perkembangan ekonomi dunia yang progresif.
Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berhikmat pada kebutuhan dasar seluruh rakyat, namun pada saat yang sama, negara harus tetap konsisten dan berkelanjutan dalam mendorong tumbuhnya inovasi-inovasi ekonomi dalam masyarakat.(*)