Selasa, Februari 4, 2025
No menu items!

Suara Ketukan (4): Penjaga di Balik Pintu

Must Read

Oleh: Sugiyati, S. Pd | Guru SMAN 1 Ambarawa

SEJAK kepergian Pak Hasan, rutinitas Arman sebagai pengantar koran tidak lagi sama. Ada kehampaan yang ia rasakan setiap kali melewati rumah tua di ujung jalan. Namun, pesan terakhir Pak Hasan terpatri kuat dalam benaknya: “Ketukan kecil bisa menjadi tanda kehidupan bagi seseorang.”

Pagi itu, Arman kembali menjalani pekerjaannya. Matahari masih malu-malu muncul di balik horizon, dan jalanan lengang seperti biasa. Di keranjang sepedanya, tumpukan koran siap diantarkan. Namun, pikiran Arman melayang pada sesuatu yang lebih besar. Ia bertanya-tanya, apakah ada orang lain di sekitar sini yang hidup sendirian seperti Pak Hasan?

Saat berhenti di depan rumah salah satu pelanggannya, seorang wanita tua bernama Bu Surti, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Biasanya, ia hanya memasukkan koran melalui celah pagar. Tapi kali ini, ia mengetuk pintu rumah.

“Bu Surti, ini saya, Arman. Korannya sudah datang!” serunya sambil menunggu.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Wajah Bu Surti muncul, terlihat kaget sekaligus senang. “Oh, Nak Arman! Ada apa mengetuk pintu pagi-pagi begini?”

Arman tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan Ibu baik-baik saja. Saya ingat ada pelanggan saya yang senang mendengar ketukan pintu setiap pagi, jadi saya pikir mungkin Ibu juga suka.”

Bu Surti tersenyum lebar, meski matanya tampak berkaca-kaca. “Nak, terima kasih. Jujur saja, tidak banyak orang yang peduli seperti ini. Kadang, hari-hariku terasa sunyi, terutama sejak anak-anak pindah ke kota.”

Obrolan singkat itu menghangatkan hati Bu Surti. Ia mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupannya, tentang cucu-cucu yang jarang berkunjung, dan tentang bagaimana ia merindukan suara di rumahnya yang kini terasa terlalu besar dan sepi. Arman mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu yang benar.

Hari berikutnya, Arman memutuskan untuk meneruskan kebiasaan itu. Ia mulai mengetuk pintu beberapa pelanggannya yang tinggal sendirian, bertanya kabar mereka sebelum melanjutkan perjalanan. Salah satunya adalah Pak Mahmud, seorang duda yang tinggal di rumah sederhana di ujung gang.

“Pak Mahmud, selamat pagi! Korannya sudah sampai,” seru Arman sambil mengetuk pintu.

Pak Mahmud membuka pintu dengan wajah yang sedikit terkejut. “Oh, Arman. Tumben mengetuk pintu. Ada apa?”

Arman tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan Bapak baik-baik saja. Pagi ini cerah, jadi saya pikir Bapak mungkin ingin berbagi cerita.”

Pak Mahmud tertawa kecil, suaranya serak namun hangat. “Ah, kamu ini aneh-aneh saja. Tapi terima kasih. Kadang memang butuh seseorang untuk diajak bicara, meski hanya sebentar.”

Obrolan singkat itu berlanjut menjadi cerita-cerita tentang masa muda Pak Mahmud, tentang pengalamannya bekerja sebagai pedagang kain, dan tentang almarhum istrinya yang katanya pandai memasak gulai kambing. Arman merasa seperti membuka jendela ke dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan kenangan dan kehangatan, meski terkadang dibayangi rasa kehilangan.

Seiring berjalannya waktu, ketukan pintu Arman mulai menjadi kebiasaan yang dinantikan oleh beberapa pelanggannya. Mereka yang awalnya hanya menerima koran melalui kotak surat kini mulai menunggu di balik pintu, berharap bisa berbincang sejenak.

Namun, bukan hanya itu yang berubah. Arman mulai memperhatikan sesuatu yang lebih besar. Ia menyadari bahwa beberapa dari mereka sebenarnya saling mengenal, tetapi jarang berbicara satu sama lain karena kesibukan atau rasa canggung. Ia berpikir, mungkin ada cara untuk menjembatani mereka, seperti Pak Hasan dulu menjembatani dirinya dengan makna kehidupan.

Suatu pagi, setelah menyelesaikan pengantaran, Arman kembali ke rumah Bu Surti dengan ide di benaknya. “Bu, bagaimana kalau kita membuat pertemuan kecil? Saya tahu beberapa pelanggan saya yang tinggal sendirian di sekitar sini. Mungkin kita bisa berkumpul, berbagi cerita, dan saling mengenal.”

Mata Bu Surti berbinar. “Wah, itu ide yang bagus, Nak Arman! Saya juga rindu berkumpul dengan orang-orang. Kapan mau dimulai?”

Arman tersenyum. “Saya akan tanyakan pada yang lain dulu. Kalau semua setuju, kita bisa mulai minggu depan.”

Minggu berikutnya, di teras rumah Bu Surti yang cukup luas, berkumpullah lima orang yang sebelumnya hanya saling mengenal lewat sapaan singkat di jalan. Ada Pak Mahmud, Bu Rina, dan dua pelanggan lainnya, yaitu Pak Darto dan Ibu Ningsih.

Arman membuka pertemuan itu dengan cerita tentang Pak Hasan, bagaimana lelaki tua itu mengajarkannya arti dari ketukan pintu kecil yang penuh makna. Cerita itu membuat semua orang terdiam, tenggelam dalam renungan masing-masing.

“Kadang kita lupa,” kata Arman, “bahwa hal kecil seperti sapaan atau suara ketukan pintu bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seseorang. Jadi, saya harap kita bisa terus menjaga hubungan ini. Kita tidak harus merasa sendirian di dunia ini.”

Pertemuan itu penuh dengan cerita, tawa, dan bahkan air mata. Mereka berbagi kenangan, membicarakan kesulitan, dan menemukan kenyamanan dalam kebersamaan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa hidup kembali.

Sejak hari itu, komunitas kecil itu menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Setiap minggu, mereka berkumpul di rumah Bu Surti atau di tempat lainnya, berbagi makanan dan cerita. Arman tetap menjadi penghubung mereka, penjaga di balik pintu-pintu yang dulu tertutup rapat oleh kesepian.

Di setiap ketukan pintu yang ia lakukan, Arman tidak hanya mengantarkan koran, tetapi juga membawa harapan, pengingat bahwa mereka tidak sendirian. Ia tahu, itu adalah warisan yang ia terima dari Pak Hasan, sesuatu yang akan ia bawa sepanjang hidup. (Bersambung)

Salat Tasbih dalam Tinjauan Hadis dan Pandangan Ulama

JAKARTAMU.COM | Hadis tentang shalat tasbih memang masyhur dalam beberapa kitab hadis, tetapi ada perbedaan pendapat di kalangan ulama...

More Articles Like This