Rabu, Februari 5, 2025
No menu items!

Suara Ketukan (5): Surat dari Langit

Must Read

Oleh: Sugiyati, S. Pd | Guru SMAN 1 Ambarawa

PAGI itu, hujan turun lembut seperti bisikan, menciptakan simfoni tenang saat menetes ke dedaunan dan genting rumah. Arman tetap mengayuh sepedanya meski jalanan basah, dengan mantel hujan yang melindungi tubuhnya dari dingin. Meski pekerjaannya sudah menjadi rutinitas, ada semangat baru yang ia rasakan setiap kali menyapa pelanggan-pelanggannya.

Hari ini adalah hari pertemuan mingguan komunitas kecil yang telah ia bentuk bersama Bu Surti, Pak Mahmud, dan beberapa pelanggan lainnya. Mereka bergiliran menjadi tuan rumah, dan kali ini, giliran rumah Bu Rina menjadi tempat pertemuan.

Namun, sebelum memulai harinya, Arman memutuskan untuk mampir ke rumah tua Pak Hasan. Meski rumah itu kini kosong dan sunyi, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Ia mengetuk pintu tiga kali, seperti kebiasaannya dulu, meski ia tahu takkan ada jawaban.

“Pak Hasan,” gumamnya pelan, “saya harap Anda tenang di sana. Kami merindukan Anda.”

Saat ia hendak berbalik, pandangannya tertuju pada kotak surat yang terletak di dekat pagar. Biasanya kosong, kotak itu kali ini terlihat sedikit penuh. Dengan rasa penasaran, Arman membuka kotak surat itu dan menemukan sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Tulisan tangan di depannya membuat jantungnya berdegup kencang.

“Untuk Nak Arman.”

Arman membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sebuah surat dengan tulisan tangan yang ia kenali sebagai milik Pak Hasan. Hatinya berdebar saat ia membaca baris pertama:

Nak Arman,
Jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah tiada. Tapi jangan sedih, ya. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang belum sempat aku katakan selama aku masih hidup
.”

Arman teriam sejenak, menelan ludah untuk menahan emosinya. Ia melanjutkan membaca.

Kamu tahu, Nak, setiap pagi saat mendengar ketukan pintumu, hatiku terasa lebih ringan. Itu adalah pengingat bahwa aku masih hidup, bahwa ada seseorang yang peduli. Kamu mungkin tidak menyadari, tetapi kamu telah menjadi alasan bagi banyak orang untuk terus bertahan. Aku melihat caramu menyapa tetangga, caramu mendengarkan cerita-cerita kecil kami. Itu adalah hadiah yang tak ternilai.

Aku punya satu permintaan terakhir. Di laci meja kerjaku, ada sebuah buku harian. Di dalamnya, aku menulis tentang mimpi-mimpiku, termasuk mimpiku untuk membuat komunitas kecil bagi orang-orang sepertiku—yang kesepian, yang merasa dunia telah melupakan mereka. Aku harap kamu bisa mewujudkan mimpi itu untukku.

Arman menutup surat itu perlahan, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa seolah-olah Pak Hasan masih ada di sana, berbicara langsung dengannya. Dengan tangan gemetar, ia masuk ke dalam rumah Pak Hasan dan mencari laci yang dimaksud.

Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit yang mulai pudar. Membukanya, ia melihat tulisan tangan Pak Hasan yang mencatat berbagai gagasannya tentang komunitas, cerita-cerita tentang hidupnya, dan daftar nama tetangga yang menurutnya perlu didekati.

Arman membawa buku Bu Rina. Saat semua anggota komunitas sudah berkumpul, ia menunjukkan buku harian itu dan membacakan sebagian isinya.

“Pak Hasan memiliki mimpi untuk kita,” kata Arman dengan suara bergetar. “Dia ingin kita menjadi komunitas yang lebih besar, yang bisa menjangkau lebih banyak orang. Orang-orang yang mungkin kesepian, yang merasa dunia ini terlalu sunyi.”

Semua orang terdiam mendengarkan. Beberapa dari mereka mengangguk, mata mereka berkaca-kaca. Bu Rina menghela napas panjang. “Pak Hasan benar. Ada banyak orang di sekitar kita yang mungkin butuh bantuan, tapi kita terlalu sibuk untuk memperhatikan mereka.”

Pak Mahmud menambahkan, “Kita sudah memiliki awal yang baik. Kita bisa mulai dengan memperluas pertemuan ini. Ajak lebih banyak orang. Mungkin kita bisa membuat acara kecil, seperti gotong-royong atau sekadar piknik bersama.”

Dalam beberapa minggu, komunitas kecil itu mulai berkembang. Arman, bersama anggota lainnya, mulai mengundang lebih banyak tetangga untuk bergabung. Mereka mengadakan acara seperti berbagi makanan, membaca puisi, dan bahkan membantu membersihkan rumah orang-orang tua yang tinggal sendirian.

Nama Pak Hasan sering disebut dalam setiap pertemuan. Ia menjadi inspirasi bagi komunitas itu, simbol bahwa hal kecil seperti ketukan pintu bisa menciptakan perubahan besar.

Suatu hari, Arman memutuskan untuk menulis surat kepada anak Pak Hasan, Pak Junaedi. Ia menceritakan tentang buku harian itu dan bagaimana komunitas mereka berkembang berdasarkan mimpi almarhum ayahnya. Beberapa hari kemudian, Pak Junaedi datang untuk melihat langsung.

Saat ia menyaksikan pertemuan komunitas itu di rumah Bu Surti, air mata jatuh dari matanya. “Ayah saya pasti sangat bahagia melihat ini,” katanya kepada Arman. “Terima kasih karena telah menjaga mimpinya tetap hidup.”

Di akhir acara hari itu, Arman membuka buku harian Pak Hasan sekali lagi. Di halaman terakhir, ia menemukan sebuah catatan yang tampaknya ditulis beberapa hari sebelum Pak Hasan meninggal.

Jika ada satu hal yang bisa aku sampaikan kepada dunia, itu adalah ini: Jangan pernah meremehkan kebaikan kecil. Ketukan pintu, sapaan pagi, atau senyuman sederhana bisa menjadi cahaya bagi seseorang di tengah gelapnya hidup mereka. Dan jika aku pergi, aku harap ketukan itu tidak berhenti.”

Arman menutup buku itu dengan perasaan hangat di dadanya. Ia tahu, ketukan pintu Pak Hasan tidak akan pernah berhenti. Itu akan terus hidup melalui komunitas kecil mereka, melalui setiap tindakan kebaikan yang mereka lakukan. (bersambung)

Jauhi Israf, Habiskan Air Minummu!

COBA perhatikan setiap kali sebuah acara besar selesai. Kampanye, hajatan pernikahan, tablig akbar, reuni, seminar, bahkan pengajian, petugas kebersihan...

More Articles Like This