Oleh: Sugiyati, S. Pd |Guru SMAN 1 Ambarawa
PAGI itu, matahari bersinar hangat, membelai daun-daun yang masih basah oleh embun. Suara burung berkicau memecah keheningan, seolah mengiringi langkah Arman yang berjalan menuju rumah Bu Surti. Di tangannya, ia menggenggam buku harian Pak Hasan yang sudah menjadi sumber inspirasi bagi komunitas mereka.
Hari ini adalah hari yang spesial. Komunitas kecil mereka, yang sebelumnya hanya terdiri dari lima orang, telah berkembang menjadi belasan anggota. Mereka akan mengadakan acara pertama yang lebih besar—sebuah kegiatan piknik di taman lingkungan. Bagi banyak dari mereka, ini adalah pengalaman yang jarang terjadi, terutama bagi orang-orang yang jarang keluar rumah.
Di taman yang rindang, meja-meja panjang sudah dihiasi taplak berwarna cerah. Ada makanan ringan, termos besar berisi teh hangat, dan beberapa permainan tradisional seperti congklak dan kartu remi. Arman dan beberapa anggota komunitas sibuk menyiapkan semuanya, sementara Bu Surti memimpin para ibu untuk menyusun makanan.
Pak Mahmud, yang biasanya pendiam, terlihat semangat hari itu. Ia membawa gitar tua miliknya, berniat menyumbangkan lagu. “Dulu, waktu muda, saya sering main gitar di warung kopi,” katanya sambil tertawa. “Hari ini saya mau menghibur kalian semua.”
Ketika semua orang mulai berkumpul, suasana berubah hangat. Ada tawa, cerita, dan senyuman di setiap sudut. Tapi yang paling mencolok adalah bagaimana orang-orang yang sebelumnya hanya saling mengenal sebagai tetangga mulai membuka diri, saling berbagi kisah.
Di tengah keramaian, Arman memperhatikan seorang lelaki tua yang duduk sendirian di bangku taman. Wajahnya asing, tidak seperti anggota komunitas yang lain. Ia mengenakan jaket tebal yang sudah kusam, dengan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya.
Arman mendekatinya dengan hati-hati. “Selamat pagi, Pak. Saya Arman. Apa Bapak mau bergabung dengan kami?”
Lelaki itu mengangkat wajahnya perlahan, matanya tampak lelah namun penuh dengan rasa penasaran. “Saya hanya lewat,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu, bolehkah saya mengundang Bapak untuk minum teh bersama kami? Tidak perlu lama, hanya untuk duduk dan berbincang.”
Setelah ragu sejenak, lelaki itu akhirnya mengangguk. Arman membawanya ke meja dan mengenalkannya kepada yang lain. “Ini Pak Wiryo,” kata Arman. “Beliau tetangga kita di gang sebelah.”
Pak Wiryo awalnya tampak canggung, tetapi setelah beberapa saat, ia mulai berbicara. Ia bercerita tentang kehidupannya sebagai pensiunan pekerja pabrik, tentang anak-anaknya yang kini tinggal di luar kota, dan tentang kesepiannya yang sering menyelimuti hari-harinya.
“Terima kasih sudah mengundang saya,” kata Pak Wiryo pada akhirnya. “Saya pikir saya akan menghabiskan hari ini sendirian seperti biasa. Ternyata, ada orang yang peduli.
Acara piknik itu menjadi awal dari langkah baru komunitas mereka. Mereka menyadari bahwa masih banyak orang seperti Pak Wiryo—tetangga yang tinggal tak jauh dari mereka, tetapi hidup dalam sunyi.
“Ketika saya melihat Pak Wiryo tadi,” kata Bu Rina saat mereka membereskan peralatan piknik, “saya merasa seperti melihat diri saya dulu. Kesepian itu bisa sangat berat, Arman. Kita harus terus melakukan ini.”
Arman mengangguk. “Pak Hasan selalu bilang, ketukan kecil bisa menciptakan perubahan besar. Mungkin inilah yang beliau maksud.”
Mereka sepakat untuk membuat kegiatan rutin di taman, bukan hanya untuk anggota komunitas mereka, tetapi juga untuk siapa saja yang ingin bergabung. Kegiatan itu diberi nama “Jembatan Sunyi”, sebuah upaya untuk menghubungkan orang-orang yang merasa terisolasi.
Suatu hari, saat Arman sedang merapikan buku harian Pak Hasan, ia menemukan sebuah halaman yang belum pernah ia baca sebelumnya. Di halaman itu, Pak Hasan menulis tentang mimpinya untuk membuat taman lingkungan menjadi tempat berkumpul yang hangat.
“Taman adalah tempat di mana kehidupan bertemu. Anak-anak bermain, orang tua beristirahat, dan orang-orang berbagi cerita. Aku selalu bermimpi membuat taman di lingkungan ini hidup kembali, menjadi tempat di mana tidak ada orang yang merasa sendirian.”
Arman merasa seolah-olah Pak Hasan masih membimbing mereka. Ia menunjukkan halaman itu kepada anggota komunitas, dan semua setuju untuk menjadikan taman sebagai pusat kegiatan mereka.
Pada pertemuan berikutnya di taman, mereka mengadakan sesi berbagi cerita. Setiap orang diberi kesempatan untuk berbicara tentang kenangan mereka, tentang orang-orang yang mereka rindukan, dan tentang harapan mereka untuk masa depan.
Bu Surti bercerita tentang almarhum suaminya yang selalu menemaninya membuat kue. Pak Mahmud mengenang masa-masa sulit saat ia kehilangan pekerjaan. Bahkan Pak Wiryo, yang kini menjadi anggota aktif, menceritakan kisah masa mudanya sebagai pemain bola kampung yang pernah mengharumkan nama desa.
Namun, yang paling mengejutkan adalah saat Arman berbicara. “Saya hanya seorang pengantar koran,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi Pak Hasan mengajarkan saya bahwa pekerjaan kecil pun bisa membawa perubahan besar. Hari ini, saya ingin berterima kasih kepada kalian semua karena telah menghidupkan mimpi Pak Hasan.”
Suasana menjadi haru. Beberapa orang menangis, sementara yang lain bertepuk tangan dengan penuh semangat.
Seiring waktu, “Jembatan Sunyi” tumbuh menjadi lebih dari sekadar komunitas. Mereka mengadakan kelas kecil untuk anak-anak di taman, seperti belajar menggambar atau bermain musik. Mereka juga mengumpulkan dana untuk membantu tetangga yang membutuhkan, seperti memperbaiki rumah atau membeli bahan makanan.
Nama Pak Hasan selalu disebut sebagai inspirasi di balik semua itu. Arman, yang kini menjadi pemimpin tak resmi komunitas tersebut, merasa bahwa setiap ketukan pintu yang ia lakukan dulu telah berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
Ketika ia duduk sendirian di taman suatu malam, ia memandang langit yang penuh bintang dan berkata pelan, “Pak Hasan, jembatan ini untuk Anda. Terima kasih sudah membuka mata saya.” (bersambung)