Oleh: Sugiyati, S. Pd | Guru SMAN 1 Ambarawa
Langit senja membentang dengan gradasi jingga dan merah muda, memberi suasana hangat meski udara mulai dingin. Arman duduk di bangku taman yang telah menjadi pusat kegiatan komunitas “Jembatan Sunyi”. Di depannya, beberapa anak kecil bermain lompat tali, sementara di sudut lain, Bu Surti sedang mengajari ibu-ibu lain cara membuat anyaman dari bambu.
Taman itu kini hidup. Gelak tawa menggantikan sunyi, dan semangat baru menggantikan kesepian. Tetapi bagi Arman, ini bukan hanya tentang keramaian; ini adalah tentang kehangatan yang tak terlihat tetapi terasa oleh semua orang yang hadir.
Hari itu, Pak Wiryo mendekati Arman dengan amplop kecil di tangannya. Wajahnya tampak penuh harap, tetapi ada juga rasa cemas yang sulit disembunyikan.
“Nak Arman,” katanya pelan. “Saya butuh bantuanmu.”
Arman menerima amplop itu dengan ragu. “Apa ini, Pak?”
“Itu surat untuk anak saya,” jawab Pak Wiryo, suaranya gemetar. “Sudah bertahun-tahun saya tidak berbicara dengannya. Kami berselisih waktu dia memutuskan untuk pindah ke kota. Tapi akhir-akhir ini, saya merasa waktu saya mungkin tidak lama lagi. Saya ingin meminta maaf sebelum terlambat.”
Arman tertegun. Ia membuka amplop itu dan melihat surat dengan tulisan tangan yang rapi tetapi tampak goyah, seolah ditulis oleh seseorang yang ragu tetapi penuh harapan.
“Kenapa tidak mengirimkannya sendiri, Pak?” tanya Arman hati-hati.
Pak Wiryo menggeleng. “Saya tidak tahu alamatnya sekarang. Saya hanya tahu dia tinggal di Jakarta. Saya berpikir, mungkin kamu bisa membantu saya mencarinya.”
Malam itu, setelah semua kegiatan selesai, Arman memikirkan permintaan Pak Wiryo. Surat itu terasa seperti beban yang harus ia pikul, bukan karena beratnya tanggung jawab, tetapi karena harapan yang tergantung di dalamnya.
Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang anak Pak Wiryo. Dengan bantuan Pak Mahmud, yang memiliki kenalan di kecamatan, mereka mencoba melacak keberadaan pria bernama Anton Wiryo, anak lelaki Pak Wiryo yang dikatakan bekerja sebagai teknisi di salah satu perusahaan di Jakarta.
Dua minggu kemudian, mereka mendapatkan petunjuk. Anton kini bekerja di sebuah bengkel mobil di Jakarta Barat. Tanpa pikir panjang, Arman memutuskan untuk mengantarkan surat itu sendiri.
Perjalanan ke Jakarta memakan waktu hampir delapan jam. Saat tiba di bengkel yang disebutkan, Arman merasa gugup. Ia membawa surat itu dengan hati-hati, seolah-olah surat itu adalah kunci untuk membuka pintu masa lalu yang telah lama terkunci.
Seorang pria berusia sekitar 40-an mendekatinya. Tubuhnya kekar, tetapi wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanyanya.
Arman mengenalkan dirinya dan menyebutkan nama Pak Wiryo. Wajah pria itu langsung berubah.
“Bapak saya?” gumamnya dengan nada yang sulit diartikan. “Kenapa Anda membawa namanya?”
Arman menyerahkan surat itu. “Ini dari beliau. Pak Wiryo berharap bisa menyampaikan sesuatu sebelum terlambat.”
Anton membuka surat itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca, air mata mulai mengalir di pipinya. Kata-kata sederhana dari ayahnya yang meminta maaf dan mengungkapkan kerinduan tampaknya menghantam hatinya dengan keras.
“Saya… sudah lama tidak pulang,” katanya akhirnya. “Saya marah karena Bapak tidak pernah mendukung keputusan saya untuk pergi ke kota. Tapi saya tidak pernah tahu bahwa dia merindukan saya.”
“Dia tidak hanya merindukan Anda, Pak Anton,” kata Arman pelan. “Dia juga takut kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hubungan kalian.”
Anton terdiam lama. Akhirnya, ia mengangguk dan berkata, “Saya akan pulang. Terima kasih sudah membawa surat ini.”
Seminggu kemudian, Anton kembali ke rumah Pak Wiryo. Hari itu, komunitas “Jembatan Sunyi” mengadakan acara rutin di taman, tetapi Arman memilih untuk menemani Pak Wiryo di rumah.
Saat Anton mengetuk pintu, Pak Wiryo tampak ragu. Tangan tuanya gemetar saat memutar gagang pintu. Ketika ia melihat wajah anaknya, air matanya langsung jatuh.
“Anton,” katanya dengan suara parau.
“Bapak,” jawab Anton, suaranya bergetar.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka saling berpelukan. Semua rasa sakit, kemarahan, dan kesedihan seolah larut dalam pelukan itu. Bagi Arman yang menyaksikan dari jauh, momen itu adalah pengingat akan pentingnya komunikasi dan rekonsiliasi.
Anton tinggal selama beberapa hari untuk membantu ayahnya. Ia juga bergabung dalam beberapa kegiatan komunitas, dan perlahan, ia menjadi bagian dari keluarga besar “Jembatan Sunyi”.
Kisah Pak Wiryo dan Anton menjadi inspirasi bagi komunitas itu. Mereka mulai menyadari bahwa banyak hubungan yang terputus bukan karena kebencian, tetapi karena kesalahpahaman dan keengganan untuk membuka diri.
Arman memutuskan untuk membuat sebuah acara khusus yang dinamai “Cahaya di Ujung Jalan”, di mana setiap anggota komunitas didorong untuk menulis surat kepada seseorang yang penting dalam hidup mereka. Surat-surat itu kemudian dibacakan dalam pertemuan bersama, menciptakan momen haru dan kehangatan di antara mereka.
Bagi Arman, setiap surat yang ditulis adalah seperti lentera kecil yang menerangi jalan di tengah gelapnya kesepian. Dan setiap rekonsiliasi yang tercipta adalah bukti bahwa harapan selalu ada, meski di ujung jalan yang tampak gelap.(bersambung)