Oleh: Sugiyati, S. Pd | Guru SMAN 1 Ambarawa
MALAM semakin larut, namun Arman masih duduk di meja kecil di sudut taman, memandangi bintang-bintang yang tersembunyi di balik kabut tipis. Komunitas “Jembatan Sunyi” telah mengadakan pertemuan malam itu, dan Arman merasa semakin terikat dengan setiap cerita yang dibagikan. Cerita Pak Wiryo dan Anton masih terngiang dalam pikirannya.
Namun, ada satu hal yang membuatnya tak bisa tidur malam itu. Pagi ini, Bu Surti yang selalu ceria dan penuh semangat tiba-tiba terlihat berbeda. Wajahnya tampak murung, dan ia memilih duduk sendirian di bangku taman tanpa ikut bergabung dalam obrolan. Arman, yang sudah mengenal Bu Surti dengan baik, merasa ada yang tak beres.
Arman mendekati Bu Surti, yang sedang memandangi daun-daun kering yang jatuh di tanah. Udara malam itu dingin, namun tampaknya tak mampu meredakan kekhawatiran yang menggelayuti hatinya.
“Bu Surti, ada yang bisa saya bantu?” tanya Arman, duduk di sebelahnya dengan hati-hati.
Bu Surti tersenyum tipis, namun senyumnya tampak dipaksakan. “Oh, Arman, tidak ada apa-apa. Hanya sedikit lelah.” Suaranya terdengar ringan, tetapi ada beban yang tak terucapkan di dalamnya.
Namun, Arman tahu Bu Surti bukan orang yang mudah berpura-pura. Sudah lama ia mengenalnya, dan ia tahu bahwa ketika Bu Surti berusaha menyembunyikan sesuatu, pasti ada sesuatu yang sangat penting.
“Apakah ada yang mengganggu, Bu? Anda tahu, kami semua di sini bisa membantu,” kata Arman dengan lembut.
Bu Surti akhirnya menghela napas panjang. Matanya yang tajam menatap Arman. “Kamu tahu, Nak Arman, saya bukanlah orang yang mudah berbicara tentang masalah pribadi. Tapi… ada sesuatu yang sudah lama mengganjal di hati saya.”
Arman mengangguk, menunggu Bu Surti melanjutkan ceritanya.
“Saya punya seorang anak perempuan, namanya Sari. Dia sudah lama meninggalkan rumah, entah ke mana. Dulu, dia bekerja di Jakarta, tetapi tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Saya… tidak tahu harus bagaimana. Sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, saya tidak mendengar suara ketukannya lagi.”
Arman terdiam, merasakan keheningan yang tiba-tiba menyelubungi mereka. Ia tahu bahwa dalam kehidupan Bu Surti, ada sebuah kehampaan yang sangat dalam.
“Apakah Bu Surti tidak mencoba mencari kabarnya?” tanya Arman, sedikit ragu.
“Ada, tentu saja. Saya pernah mencoba menghubunginya, bahkan datang ke Jakarta beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban. Dan saya mulai berpikir, mungkin dia tidak ingin bertemu dengan saya lagi,” jawab Bu Surti, suara serak di ujung kalimatnya.
Keesokan harinya, Arman memutuskan untuk menemani Bu Surti mencari anak perempuannya. Ia merasa bahwa tidak ada yang lebih penting dari memberikan kesempatan kedua bagi hubungan ibu dan anak yang sudah lama terputus.
Mereka berangkat pagi-pagi, membawa sedikit bekal dan semangat yang baru. Arman menggunakan seluruh koneksinya untuk mencari informasi tentang Sari. Setiap kenalan, setiap orang yang mungkin tahu, mereka temui. Mereka menanyakan kepada teman-teman lama Bu Surti, dan akhirnya mereka mendapatkan petunjuk bahwa Sari bekerja di sebuah restoran besar di Jakarta.
“Kalau begini, kita harus ke sana,” kata Arman dengan tekad.
Bu Surti hanya mengangguk, meskipun wajahnya tampak cemas. Ia takut jika akhirnya ia menemui kenyataan pahit bahwa anaknya benar-benar tidak ingin kembali.
Sesampainya di Jakarta, Arman dan Bu Surti langsung menuju restoran tempat Sari bekerja. Restoran itu terletak di kawasan elit Jakarta, dan suasana di dalamnya sangat sibuk dengan tamu-tamu yang datang dan pergi.
“Mungkin dia sedang bekerja,” kata Arman, mencoba memberi semangat. Mereka menginjakkan kaki di dalam restoran yang penuh dengan pelayan dan pengunjung.
Setelah beberapa menit mencari, mereka menemukan seorang pelayan yang mengenali Sari. “Oh, Ibu Sari! Dia sering datang ke sini. Saya bisa panggilkan dia, kalau Ibu ingin bertemu.”
Hati Bu Surti berdebar hebat. Arman meraih tangannya, memberi dukungan. Tak lama setelah itu, seorang wanita muda keluar dari ruang belakang. Ketika matanya bertemu dengan mata Bu Surti, ada kilatan kehangatan yang tak terkatakan.
“Sari…,” Bu Surti berbisik, tidak percaya.
Sari terdiam sejenak. Wajahnya terlihat pucat, tetapi ada sedikit senyum yang muncul di bibirnya. “Ibu… apa yang Ibu lakukan di sini?” tanyanya pelan, namun suara itu dipenuhi perasaan yang mendalam.
Air mata Bu Surti mulai jatuh. “Saya mencari kamu, Sari. Saya tidak bisa lagi menahan rindu. Kamu sudah lama pergi tanpa kabar, saya… saya khawatir.”
Sari menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan saya, Bu. Saya… saya tidak tahu harus bagaimana. Ada banyak hal yang terjadi, dan saya merasa tidak bisa kembali. Tapi, saya tidak pernah lupa Ibu.”
Lalu, tanpa berkata-kata lagi, mereka saling berpelukan. Dalam pelukan itu, semua rasa sakit dan jarak yang tercipta selama bertahun-tahun akhirnya larut begitu saja. Sari mengungkapkan semua perasaan yang ia pendam, dan Bu Surti menyadari bahwa anaknya itu masih membutuhkan dukungannya, meskipun ia merasa terabaikan selama ini.
Kisah Bu Surti dan Sari menjadi bukti bahwa kadang-kadang, dalam perjalanan hidup, kita hanya perlu waktu untuk pulih. Mereka berdua memutuskan untuk kembali ke rumah Bu Surti bersama Arman. Di perjalanan pulang, Bu Surti berbicara dengan penuh haru.
“Saya tidak tahu harus mengatakan apa, Arman. Tapi saya merasa seperti menemukan kembali kehidupan saya yang hilang.”
Arman tersenyum, merasa puas karena telah membantu menyatukan dua hati yang terpisah lama. Ia tahu, meskipun perjalanan itu tidak mudah, mereka telah menemukan kembali harmoni yang terpendam di antara mereka.
Kisah Bu Surti dan Sari adalah pengingat bagi setiap orang di “Jembatan Sunyi” bahwa kasih sayang yang tulus dan komunikasi yang jujur dapat mengubah segala sesuatunya. Setiap ketukan pintu, setiap kata yang terucap, bisa menjadi awal dari perjalanan untuk memperbaiki yang retak, mengisi yang kosong, dan menyembuhkan yang terluka. (bersambung)