Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Suara Ketukan (9): Kembali

Must Read

Oleh: Sugiyati, S. Pd | Guru SMAN 1 Ambarawa

PULANG dari Jakarta, Arman merasakan perubahan yang mendalam dalam dirinya. Ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. Tidak hanya tentang ketukan pintu yang menghubungkan manusia, tetapi juga tentang perjalanan panjang yang kadang harus dilalui untuk menemukan kembali hubungan yang hilang. Seperti Bu Surti dan Sari, banyak kisah yang terpendam, yang menunggu untuk dihargai dan diterima.

Namun, perasaan lega dan haru yang ia rasakan seketika digantikan oleh kegelisahan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa meski telah membantu banyak orang, ada satu hal yang ia hindari hal yang berhubungan dengan dirinya sendiri.

Arman kembali ke rutinitasnya. Setiap pagi, ia mengayuh sepeda menuju rumah Pak Hasan, mengetuk pintunya dengan lembut, dan menyerahkan koran. Namun, setelah pertemuan itu, ia merasa seolah ada ruang kosong dalam hidupnya. Sesuatu yang selama ini ia anggap tidak penting, kini menjadi hal yang sangat mempengaruhi perasaannya.

Malam itu, ia duduk termenung di teras rumahnya. Suara jangkrik yang biasa menemani malam terasa lebih keras. Ia merasakan kesendirian yang lebih dalam. Meskipun ia telah membangun banyak hubungan dengan orang lain, ia menyadari bahwa ia belum pernah benar-benar menjalin hubungan yang tulus dengan dirinya sendiri.

“Kenapa aku merasa kosong?” pikirnya. “Kenapa setiap kali aku memberi, ada sesuatu yang hilang di dalam diriku?”

Pertanyaan itu mengganggu pikirannya. Ia memutuskan untuk pergi ke taman. Sesampainya di sana, ia duduk di bangku taman yang sama, tempat ia biasa berbicara dengan orang-orang yang datang ke komunitas. Namun kali ini, ia merasa tidak ada yang bisa ia katakan. Suasana sepi. Tidak ada seorang pun yang ia ajak bicara.

Saat ia duduk sendiri, Arman teringat kembali masa-masa kecilnya. Ia tumbuh besar di sebuah desa kecil, dikelilingi oleh kasih sayang dari orang tuanya. Namun, hidupnya berubah saat ia remaja. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kejadian itu mengubah segalanya dalam hidup Arman. Ia terpaksa meninggalkan desa dan mencari pekerjaan di kota besar.

Arman merasa bahwa ia telah mengubur kenangan itu jauh dalam-dalam, tetapi seiring bertambahnya usia, kenangan itu kerap muncul tanpa diundang. Ia sering merasa cemas dan tidak aman. Kepergian orang tuanya membuatnya merasa seolah tidak ada tempat yang benar-benar bisa ia sebut rumah.

“Apakah saya benar-benar bisa menemukan kedamaian?” Arman bertanya pada dirinya sendiri. “Apakah ada cara untuk kembali ke diri saya yang dulu?”

Arman tahu bahwa ia harus menghadapi ketakutannya. Untuk itu, ia memutuskan untuk menemui seseorang yang bisa membantunya mengerti perasaan itu seorang terapis yang dikenal oleh anggota komunitas “Jembatan Sunyi”.

Ketika pertama kali duduk di depan terapis itu, Arman merasa canggung. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Tetapi, sang terapis, seorang wanita paruh baya dengan senyuman hangat, memberi ruang baginya untuk berbicara.

“Apa yang mengganggu pikiranmu, Arman?” tanya sang terapis dengan lembut.

Arman terdiam sejenak, kemudian mulai berbicara. “Saya merasa hidup saya kosong. Saya memberi begitu banyak kepada orang lain, tapi saya tidak merasa menerima apa-apa kembali. Saya takut, kalau saya berhenti memberikan, saya akan kehilangan sesuatu. Saya merasa terjebak dalam rutinitas tanpa tujuan.”

Terapis itu mendengarkan dengan sabar, membiarkan Arman meluapkan perasaannya. “Apakah kamu tahu, Arman, bahwa kadang kita merasa kosong karena kita terlalu fokus pada kebutuhan orang lain tanpa pernah memperhatikan diri sendiri?”

Arman terdiam. Ia tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya. Selama ini, ia selalu merasa bahwa kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya. Tetapi sekarang, ia merasakan ada ruang yang hilang dalam dada.

Setiap minggu, Arman bertemu dengan terapis tersebut. Mereka berbicara tentang masa lalunya, tentang hubungan dengan orang tuanya, dan tentang bagaimana ia selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain tanpa pernah memberi ruang untuk dirinya sendiri. Proses ini tidak mudah, namun semakin lama, Arman mulai merasa sedikit lebih ringan.

“Tidak ada yang salah dengan memberi, Arman,” kata sang terapis suatu hari. “Tapi kamu juga perlu memberi pada dirimu sendiri. Kamu tidak bisa terus memberi tanpa menerima. Kamu harus mulai mencintai dirimu sendiri.”

Malam itu, setelah sesi terapi, Arman berjalan pulang dengan perasaan yang sedikit berbeda. Ia merasa sedikit lebih lengkap. Ketika ia tiba di rumah, ia duduk di depan meja kecilnya, melihat ke luar jendela. Malam itu, langit begitu cerah, bintang-bintang berkilauan seperti mengingatkan Arman akan masa dep-,

Hari-hari berlalu, dan Arman perlahan belajar untuk menerima dirinya sendiri. Ia mulai meluangkan waktu untuk hal-hal yang ia sukai, seperti membaca buku yang lama tertunda, berjalan-jalan di taman tanpa tujuan, atau sekadar duduk di depan rumah dan menikmati udara pagi. Ia menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari memberi kepada orang lain, tetapi juga dari memberi kepada diri sendiri.

Malam itu, saat ia duduk di bangku taman, Arman menyadari bahwa dunia ini tidak selalu tentang mengisi kekosongan dengan orang lain. Terkadang, kita harus belajar mengisi kekosongan itu dengan diri kita sendiri, dengan menerima semua bagian dari diri kita baik yang kuat maupun yang rapuh.

Ia tersenyum sendiri, merasa seolah ada ketukan pintu yang baru saja ia dengar. Bukan ketukan dari orang lain, tetapi ketukan dari dalam dirinya, yang mengingatkannya bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiiri. (bersambung)

Fatimah Az-Zahra: Teladan Wanita Mulia dan Penghulu Surga

Spesifikasi Buku Judul: Fatimah Az-Zahra Radhiallahu 'Anha – Wanita Mulia Penghulu SurgaPenulis: Abdus Sattar Asy-SyaikhPenerbit: Insan KamilKategori: Biografi, IslamFormat: HardcoverBahasa:...

More Articles Like This