Minggu, Februari 2, 2025
No menu items!

Suara Ketukan Itu (2): Surat yang Tak Pernah Sampai

Must Read

Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang

HUJAN turun deras sore itu, membasahi jalanan yang sudah dipenuhi genangan air. Di dalam rumah tua di ujung jalan, Pak Hasan duduk sendirian di ruang tamu. Di hadapannya tergeletak sebuah kotak kayu kecil yang penuh dengan kertas-kertas kusut. Matanya menatap kosong ke arah jendela, mengikuti tetesan air hujan yang meluncur perlahan di kaca.

Kotak itu telah lama ia simpan, hampir tidak pernah dibuka kecuali pada hari-hari tertentu yang membuat hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Hari ini adalah salah satunya. Ia membuka kotak itu dengan tangan gemetar, mengeluarkan tumpukan surat yang sudah menguning dimakan usia. Di setiap surat, ada nama yang tertulis rapi di sudut kiri atas: Hasan untuk Siti.

Pak Hasan menghela napas panjang. Nama itu, Siti, selalu membawa kenangan yang menyesakkan. Ia mengambil salah satu surat, membukanya, dan mulai membaca pelan, meskipun ia sudah hafal isinya di luar kepala.

BACA JUGA: Suara Ketukan Itu (1)

“Siti… Hari ini hujan turun lagi, seperti hari ketika kita pertama kali bertemu di bawah payung kecil yang kau bawa. Aku masih ingat betapa gugupnya aku waktu itu, tak tahu harus berkata apa. Payungmu terlalu kecil untuk kita berdua, tapi kau tetap memaksa berbagi. Aku ingin kembali ke hari itu, meski hanya sejenak.”

Pak Hasan tersenyum pahit. Ia meletakkan surat itu dan meraih yang lain.

“Siti… Aku merindukanmu. Rasanya rumah ini terlalu besar dan sepi tanpa suara tawamu. Aku masih menyimpan semua yang kau tinggalkan di sini, bahkan secarik kertas kecil yang kau gunakan untuk mencatat belanjaan. Aku ingin sekali kau kembali, tapi aku tahu itu tidak mungkin.”

Surat-surat itu tidak pernah sampai pada Siti. Tidak ada alamat tujuan, tidak ada niat untuk mengirimkannya. Ia menulisnya untuk dirinya sendiri, untuk mengurangi beban di hatinya.

Siti, istrinya yang tercinta, telah meninggal sepuluh tahun lalu. Kepergiannya meninggalkan lubang besar yang tidak pernah bisa ia isi, tidak dengan anak-anak mereka, tidak dengan aktivitas sehari-hari, bahkan tidak dengan waktu yang terus berjalan.

Pak Hasan menghela napas panjang, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia meraih surat terakhir yang ia tulis beberapa bulan lalu, tepat di hari ulang tahun Siti.

“Siti… Usiaku sudah 72 tahun sekarang. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan ada di dunia ini, tapi aku ingin percaya bahwa kau menungguku di sana, di tempat yang damai. Aku mencoba menjalani hari-hariku dengan baik, tapi aku tetap merindukanmu, setiap saat.”

Hatinya terasa perih. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata, membiarkan suara hujan menemaninya dalam keheningan.

Di tempat lain, Arman baru saja selesai mengantarkan koran terakhirnya. Hujan telah reda, dan langit mulai terang. Ia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Pak Hasan. Ketukan pintu menjadi rutinitas yang tidak bisa ia abaikan. Ia merasa ada sesuatu yang selalu menuntunnya ke sana, seperti sebuah kewajiban yang ia emban tanpa sadar.

“Pak Hasan, ini saya, Arman!” serunya sambil mengetuk pintu.

Suara langkah pelan dari dalam segera terdengar. Tak lama, pintu terbuka, dan wajah Pak Hasan muncul. Hari ini, wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya.

“Selamat sore, Pak Hasan. Apa kabar?” tanya Arman sambil tersenyum.

Pak Hasan hanya mengangguk kecil. “Masuklah, Nak. Aku baru saja membuat teh hangat.”

Arman ragu sejenak. Biasanya ia hanya menyerahkan koran di depan pintu, tapi kali ini ia merasa Pak Hasan membutuhkan lebih dari sekadar sapaan singkat. Ia mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah.

Ruang tamu Pak Hasan dipenuhi barang-barang lama: foto-foto keluarga di dinding, jam tua yang berdentang pelan, dan kotak kayu kecil yang terbuka di atas meja. Arman melirik kotak itu, melihat tumpukan surat yang terlihat rapuh.

“Bapak suka menulis surat?” tanyanya, mencoba membuka percakapan.

Pak Hasan tersenyum tipis. “Bukan suka, Nak. Tapi aku perlu.”

Arman mengerutkan kening. “Perlu untuk apa, Pak?”

Pak Hasan menghela napas, matanya menatap jauh ke arah jendela. “Surat-surat itu adalah caraku berbicara dengan seseorang yang sudah tiada. Istriku, Siti. Aku menulis surat untuknya sejak ia pergi, untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa aku pernah memiliki kebahagiaan yang begitu besar.”

Arman tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya duduk diam, mendengarkan dengan seksama.

“Ia adalah segalanya untukku, Nak,” lanjut Pak Hasan. “Saat ia pergi, rasanya seperti separuh dari diriku ikut hilang. Surat-surat ini… entahlah, mungkin ini caraku untuk bertahan.”

Hati Arman terasa berat. Ia tidak pernah membayangkan seseorang bisa mencintai dan merindukan seseorang dengan begitu dalam. Ia menatap Pak Hasan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghiburnya.

“Pak,” katanya pelan, “mungkin Bapak tidak bisa lagi berbicara dengannya secara langsung, tapi saya yakin, di suatu tempat, Bu Siti mendengar setiap kata yang Bapak tulis.”

Pak Hasan tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Kamu tahu, Nak? Ketukan pintu yang kamu lakukan setiap pagi itu mengingatkanku pada hari-hari ketika Siti masih ada. Setiap kali ia pulang dari pasar, aku selalu mendengar ketukannya di pintu. Itu suara yang sederhana, tapi berarti segalanya.”

Arman hanya bisa mengangguk. Ia merasa ada benang merah yang menghubungkan dirinya dengan lelaki tua itu. Ia mulai menyadari bahwa rutinitas kecilnya sebagai pengantar koran memiliki makna yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

Hari itu, saat Arman pamit pulang, ia membawa serta cerita Pak Hasan dalam hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus mengetuk pintu itu, bukan hanya karena tugas, tetapi karena ia tahu, suara ketukan itu adalah tanda bahwa seseorang masih peduli. (Bersambung)

Fathul Qulub Panduan Tadarus III Ideopolitor: Cinta Tanah Air dan Memajukan Bangsa

JAKARTAMU.COM | Dalam sejarahnya yang panjang, Muhammadiyah telah membuktikan perkhidmatannya melalui peran penting tokoh-tokoh dan organisasi dalam mentransformasi kesadaran...

More Articles Like This