Sabtu, April 19, 2025
No menu items!

Suara Ketukan Itu (3): Ketukan di Pintu Lain

Must Read

Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang

PAGI itu, jalanan basah setelah hujan deras semalam. Arman mengayuh sepedanya seperti biasa, membawa tumpukan koran yang harus ia antarkan. Matahari mulai muncul perlahan, memercikkan warna keemasan di atas dedaunan yang masih basah oleh embun. Rutinitas ini adalah sesuatu yang telah ia jalani bertahun-tahun, tetapi sejak pertemuannya dengan Pak Hasan, semuanya terasa berbeda.

Setiap kali Arman berhenti di depan rumah tua itu, ada rasa hangat yang mengalir di hatinya. Suara ketukan pintu yang ia lakukan setiap pagi tidak lagi terasa seperti tugas semata. Itu adalah simbol kecil dari hubungan manusiawi yang ia jaga dengan lelaki tua yang hidup sendirian.

Hari ini, saat ia tiba di depan rumah Pak Hasan, ia melihat sesuatu yang berbeda. Pintu pagar besi yang biasanya tertutup rapat dibiarkan sedikit terbuka. Arman turun dari sepedanya, berjalan perlahan, dan mengetuk pintu seperti biasa.

“Pak Hasan, ini saya, Arman!” serunya.

Namun, tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tetap tidak ada suara dari dalam. Hati Arman mulai diliputi kecemasan. Ia mengingat pesan Pak Hasan: jika suatu hari ia tidak menjawab ketukan pintu, hubungi tetangga atau anaknya.

Arman melangkah ke rumah sebelah, rumah seorang wanita paruh baya bernama Bu Rina. Ia mengetuk pagar dan memanggil pelan. Tak lama, Bu Rina muncul dari dalam rumah, menyeka tangannya dengan lap dapur.

“Eh, Arman. Ada apa pagi-pagi begini?” tanyanya heran.

“Maaf, Bu Rina. Saya baru saja mengetuk pintu Pak Hasan, tapi tidak ada jawaban. Biasanya beliau langsung membukanya. Apakah Ibu tahu beliau baik-baik saja?”

Wajah Bu Rina berubah cemas. “Tunggu sebentar, Nak. Saya ambil kunci cadangan.”

Tak lama kemudian, mereka berdua membuka pintu rumah Pak Hasan. Suasana di dalam rumah sunyi, hanya terdengar detak jam tua yang berdentang pelan. Mereka memanggil-manggil namanya, tetapi tidak ada jawaban. Saat mereka melangkah ke ruang tamu, mereka menemukannya.

Pak Hasan duduk di kursi favoritnya, kepala bersandar, mata terpejam. Di pangkuannya tergeletak sebuah surat yang sudah terbuka. Untuk sesaat, Arman dan Bu Rina saling berpandangan, hati mereka terhimpit rasa pilu.

“Beliau sudah tiada,” bisik Bu Rina, menahan air mata.

Arman merasa tubuhnya gemetar. Meski ia tahu hari ini mungkin akan datang, tetap saja rasanya sulit diterima. Ia menunduk, menatap surat di pangkuan Pak Hasan. Dengan hati-hati, ia mengambilnya.

Beberapa jam kemudian, setelah proses evakuasi selesai, Arman duduk di ruang tamu Pak Hasan bersama anaknya, Pak Junaedi, yang baru tiba dari kota. Wajah Pak Junaedi terlihat lelah, tetapi ia berusaha menahan emosi.

“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan,” kata Pak Junaedi, suaranya serak. “Ayah selalu bilang ia baik-baik saja, bahwa ia tidak kesepian. Tapi ternyata…”

Arman menyerahkan surat yang ia temukan di pangkuan Pak Hasan. “Ini, Pak. Saya menemukannya pagi tadi. Mungkin ini surat terakhir beliau.”

Pak Junaedi menerima surat itu dengan tangan gemetar. Ia membuka lipatannya, membaca tulisan tangan ayahnya yang sedikit bergetar.

Junaedi, anakku,

Jika kamu membaca surat ini, itu artinya aku sudah pergi. Jangan bersedih, karena aku pergi dengan tenang. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menjadi anak yang baik. Maafkan aku jika selama ini aku lebih sering menyusahkanmu daripada membahagiakanmu.

Aku titip pesan untukmu, Junaedi. Jangan pernah biarkan hidupmu terlalu sibuk hingga lupa pada hal-hal kecil. Ketukan pintu setiap pagi dari Nak Arman adalah salah satu hal yang membuatku bertahan selama ini. Itu pengingat bahwa aku tidak sendirian. Jadi, jika ada seseorang yang membutuhkanmu, meskipun hanya dalam bentuk sederhana seperti itu, jangan abaikan mereka.

Aku bangga padamu, nak. Teruslah menjadi cahaya bagi orang lain.

Ayah.”

Air mata Pak Junaedi menetes tanpa ia sadari. Ia menutup surat itu perlahan, lalu menatap Arman dengan mata yang basah.

“Terima kasih, Nak Arman,” katanya pelan. “Ayah saya selalu bicara tentang Anda. Tentang bagaimana ketukan Anda setiap pagi memberinya alasan untuk bangun dan menjalani hari. Anda telah melakukan lebih dari yang mungkin Anda sadari.”

Arman terdiam. Ia merasa dadanya sesak, tetapi juga hangat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hal kecil seperti mengetuk pintu bisa memberikan makna yang begitu besar bagi seseorang.

Hari-hari setelah kepergian Pak Hasan terasa berbeda. Arman masih menjalankan rutinitasnya sebagai pengantar koran, tetapi setiap kali ia melewati rumah tua itu, ia tidak bisa menahan rasa rindu. Rumah itu kini kosong, tetapi kenangan akan suara ketukan pintu dan senyuman ramah Pak Hasan terus menghantuinya.

Suatu pagi, Arman berhenti di depan rumah itu. Ia turun dari sepedanya, berjalan ke depan pintu, dan mengetuk tiga kali. Meski ia tahu tidak akan ada jawaban, ia tetap melakukannya.

“Pak Hasan,” gumamnya pelan, “saya harap Anda tenang di sana. Saya akan terus mengetuk pintu lain, seperti yang Anda ajarkan kepada saya.”

Dengan langkah berat, Arman kembali ke sepedanya. Ia tahu, ada banyak orang lain di luar sana yang mungkin membutuhkan suara ketukan pintu yang sederhana. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjadi penghubung itu—suara kecil yang mengingatkan seseorang bahwa mereka tidak sendirian. (Bersambung)

Tapak Suci Gelar Peletakan Batu Pertama Padepokan di Yogyakarta

YOGYAKARTA, JAKARTAMU.COM | Dalam upaya memperkuat fondasi pembinaan kader dan pelestarian seni bela diri warisan Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Perguruan...
spot_img

More Articles Like This