JAKARTAMU.COM | Matahari sudah tinggi saat Musa kecil berlari di halaman istana Firaun. Jubahnya yang bersih berkibar ditiup angin, sementara di belakangnya seorang dayang istana berusaha mengejar.
“Tuanku, hati-hati! Jangan terlalu jauh!” seru dayang itu dengan napas tersengal.
Musa tertawa, memanjat sebuah batu besar di tepi taman, lalu berteriak, “Aku mau melihat sungai!”
Sungai Nil terbentang megah di kejauhan, alirannya berkilau tertimpa cahaya matahari. Di sanalah ia berasal, ditemukan mengapung di keranjang kecil, kemudian diangkat menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Ia adalah anak angkat Bithiah, putri Firaun, tetapi dalam hatinya, ada sesuatu yang selalu terasa asing.
Seiring bertambahnya usia, Musa mulai menyadari bahwa dirinya berbeda. Ia melihat para budak Ibrani bekerja tanpa kenal lelah di bawah cambuk pengawas Mesir. Keringat dan darah mereka membasahi tanah yang mereka pijak. Suatu hari, saat ia berjalan di sekitar lokasi pembangunan, ia melihat seorang pengawas Mesir memukuli seorang budak.
Tanpa berpikir panjang, Musa maju dan meninju pengawas itu. Orang itu tersungkur, lalu terdiam—selamanya.
Jantung Musa berdegup kencang. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa tak ada yang melihat kejadian itu. Ia menarik napas panjang dan berlari menjauh, menyembunyikan rasa bersalah yang mulai menggerogoti hatinya.
Namun, kejadian itu terungkap. Keesokan harinya, seorang bangsawan Mesir menyindirnya, “Kau membunuh pengawas itu, Musa. Apa kau juga akan membunuh kami?”
Musa tak menjawab. Ia tahu, nyawanya kini terancam.
Ia melarikan diri dari istana, meninggalkan segala kenyamanan yang pernah dikenalnya. Bertahun-tahun kemudian, di tanah Midian, ia menemukan kehidupan baru. Ia menikah, memiliki keluarga, dan melupakan bayang-bayang istana. Tetapi, takdir punya rencana lain.
Suatu malam, di kaki Gunung Horeb, Musa melihat semak yang terbakar tetapi tak hangus. Dari dalam api itu, suara yang dalam dan agung berbicara kepadanya.
“Musa, Aku telah melihat penderitaan umat-Ku. Pergilah ke Mesir, bebaskan mereka dari perbudakan.”
Musa gemetar. Ia telah lari begitu jauh, menghindari masa lalunya, tetapi kini ia diperintahkan untuk kembali?
“Aku tak pandai berbicara,” katanya ragu.
“Tidak perlu takut,” suara itu menjawab. “Aku akan bersamamu.”
“Musa tak bergeming. Ia bukan lagi bocah istana yang bermain di taman. Ia bukan lagi seorang bangsawan yang menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya.”
Dengan langkah berat, Musa kembali ke Mesir. Ia menemui Firaun, yang kini telah berganti generasi, dan dengan suara mantap berkata, “Biarkan umatku pergi.”
Firaun tertawa. “Kau datang membawa permintaan konyol, Musa. Aku membesarkanmu di istana ini, dan kini kau menantangku?”
Musa tak bergeming. Ia bukan lagi bocah istana yang bermain di taman. Ia bukan lagi seorang bangsawan yang menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya.
Ia adalah seorang utusan.
Berkali-kali ia mendatangi Firaun, mendatangkan berbagai mukjizat, tetapi hati Firaun tetap membatu. Hingga akhirnya, tulah terakhir datang—kematian anak-anak sulung Mesir. Dengan hati yang hancur, Firaun mengizinkan Bani Israel pergi.
Musa memimpin umatnya keluar dari Mesir, berjalan menuju kebebasan. Tapi di belakang mereka, pasukan Firaun datang mengejar. Di hadapan mereka, Laut Merah terbentang luas.
Musa mengangkat tongkatnya. Air laut terbelah, memberi jalan bagi umatnya. Mereka menyeberang dengan selamat, sementara pasukan Firaun yang mencoba mengejar ditelan ombak.
Namun, ironi kehidupan terus berjalan.
Bertahun-tahun setelah pembebasan itu, seorang lelaki muda dari Bani Israel berdiri di hadapan Musa. Ia mengenakan pakaian sederhana, dengan mata yang menyala penuh semangat.
“Musa,” katanya, “dulu kau dibesarkan oleh Firaun, tetapi kau tak pernah meneriakkan ‘Hidup Firaun!’ Kau tetap pada jalanmu. Lalu bagaimana dengan kami? Haruskah kami selamanya hanya menjadi pengikut, tanpa keberanian untuk memilih?”
Musa menatap pemuda itu lama. Ia mengingat masa kecilnya, istana, kehangatan ibu angkatnya, dan keheningan malam saat ia melarikan diri.
Ia menarik napas panjang dan berkata, “Keberanian sejati bukanlah sekadar melawan, tetapi tetap berpegang teguh pada kebenaran, bahkan ketika dunia menertawakanmu.”
Namun, di balik matanya yang bijaksana, Musa tahu—akan selalu ada mereka yang memilih jalannya sendiri.
Ironinya, bahkan setelah semua keajaiban itu, masih ada di antara mereka yang ragu, yang mencari-cari sosok baru untuk disembah.
Dan begitu perjalanan terus berlanjut, begitu pula ujian bagi hati manusia. (Dwi Taufan Hidayat)