1 Di suatu sore yang teduh, Rania melangkah dengan hati penuh kasih, menggandeng tangan kecil kedua putranya yang masih polos. Mereka berebutan memanggilnya, “Dia ibuku!” seolah-olah dunia mereka hanya berpusat pada perempuan itu. Wajah Rania berseri-seri, senyum hangatnya tak pernah lepas meski kesibukan rumah tangga dan kehidupan menyita banyak waktu dan tenaga.
“Ibu sayang kalian berdua,” katanya lembut, membelai kepala mereka dengan penuh cinta. Ia percaya, kelak anak-anaknya akan menjadi orang yang baik, yang memahami arti keluarga, terutama makna seorang ibu. Tidak ada yang lebih berharga baginya selain kebersamaan ini.
Di rumah kecil mereka, Rania bekerja keras membesarkan kedua putranya. Pagi ia memasak, siang bekerja sebagai penjahit, dan malam menidurkan anak-anaknya dengan dongeng penuh hikmah. Peluh dan lelah tak pernah ia keluhkan.
2 Waktu berlalu. Anak-anak itu tumbuh menjadi lelaki dewasa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka kini mengenakan setelan jas rapi, membawa tas penuh dokumen penting yang mencerminkan kesuksesan mereka. Namun, rumah kecil yang dulu penuh tawa kini terasa sunyi. Rania, yang dulu begitu kuat, kini duduk di kursi roda, tubuhnya melemah dimakan usia.
Di hadapannya, dua putranya berdiri dengan wajah tegang. Kali ini, suara mereka bukan lagi ungkapan kasih, tetapi perdebatan sengit.
“Dia ibumu!” ujar yang satu dengan nada ketus.
“Bukan! Ibu milikmu! Kamulah yang harus merawatnya!” balas yang lain, menunjuk tajam.
Mata Rania yang dulu penuh cahaya kini sayu. Ia menatap kedua putranya, seakan bertanya: Di mana tangan-tangan kecil yang dulu berebut menggenggam tanganku? Di mana kasih yang dulu kalian teriakkan dengan penuh kebanggaan?
Namun, tiada jawaban. Hanya pertengkaran demi pertengkaran yang kini menjadi kesehariannya. Sebuah ironi yang tak pernah ia bayangkan saat mereka masih kecil.
3 Masa lalu seolah berputar di benaknya. Ia ingat bagaimana ia berlari menjemput anak-anaknya pulang sekolah, bagaimana ia begadang saat mereka sakit, bagaimana ia menahan lapar demi memastikan mereka kenyang. Semua itu dulu terasa indah, meski melelahkan.
Namun, waktu telah mengubah segalanya. Ia tak lagi diperebutkan dengan kasih sayang, melainkan dengan dalih tanggung jawab yang dihindari.
“Aku sibuk dengan pekerjaanku, aku tidak punya waktu merawatnya!” ujar anak sulung, mengerutkan keningnya. “Aku memiliki jadwal rapat yang padat, bagaimana mungkin aku merawat ibu?”
“Aku juga! Kau lebih mapan, kau yang harus mengurusnya!” balas anak bungsu dengan nada kesal. “Istriku juga tidak suka kalau ibu tinggal di rumah kami. Dia bilang, ibu akan menyulitkan kehidupan kami.”
Mereka bertengkar, tak menyadari bahwa di kursi rodanya, Rania hanya bisa tersenyum pahit. Ia ingin berbicara, ingin menyentuh mereka, tetapi suaranya seakan terjebak di tenggorokan. Air matanya jatuh perlahan.
Dalam diam, ia menyadari satu hal: Mungkin, suatu saat nanti, aku benar-benar bukan milik siapa-siapa.
Malam itu, ia duduk di balkon rumah panti jompo. Pandangannya kosong menatap langit. Anak-anaknya akhirnya sepakat, ia lebih baik dititipkan di sana. Keputusan yang diambil dengan mudah, seolah ia hanyalah beban yang harus disingkirkan.
Hening. Tak ada suara mereka lagi. Tak ada rebutan penuh kasih. Hanya bayangan kenangan yang terus berputar di kepalanya, menyisakan luka yang tak terucapkan. (Dwi Taufan Hidayat)