JAKARTAMU.COM | Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat.
“Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka,” tulis Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).
Corak Ma’tsur (Riwayat)
Quraish menjelaskan bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi SAW, ditemukan bahwa pada dasarnya –setelah gagal menemukan penjelasan Nabi SAW– mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.
Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya’khuzahum ‘ala takhawwuf (QS 16:47).
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba’ at-tabi’in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra’ (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma’aniy Al-Qur’an, kata Quraish, maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur di celah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Kehilangan Kemampuan dan Rasa Bahasa
Menurut Quraish, bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena –jangankan kita di Indonesia ini– orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.
Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat.
Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh). Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa “Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya”.
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat sering kali dapat ditemukan.
Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya.
Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir sering kali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.
Berbeda dengan Masa Kini
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi’in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka.
Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi’in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi), masih sangat berkesan dalam jiwa mereka.
Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra’y.