JAKARTAMU.COM | Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar. Dr Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya berjudul “Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy” membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan maudhu’iy.
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan dalam bukunya “Membumikan Al-Quran” menjelaskan yang paling populer dari keempat metode itu, adalah metode tahliliy, dan metode maudhu’iy.
Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy, adalah satu metode tafsir yang “Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.”
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
“Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain,” jelas Quraish.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik tersebut, kata Quraish, yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya.
Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat di mana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima.
Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat “Inkuntum fi raib” atau “Inkuntum shadiqin”.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik, kata Quraish lagi, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak.
Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr –ulama Syi’ah Irak itu– yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya –apakah pada diri kita atau metode mereka– adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut.
Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
Metode Maudhu’iy
“Istanthiq Al-Quran” (“Ajaklah Al-Quran berbicara” atau “Biarkan ia menguraikan maksudnya”) — konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.
Pesan ini, kata Quraish Shihab, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya.
Dari sini lahir metode maudhu’iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.