JAKARTAMU.COM | Dr Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya “Al-Islam wa Al-Mustaqbal” menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai “Al-Islam Al-Iqlimiy”.
Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
“Kalau pendapat tersebut dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban,” tulis Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).
Dari satu sisi, kata Quraish, apa yang ditekankan itu ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa.
Dan tentunya, pemahaman manusia –termasuk terhadap Al-Quran– akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya.
Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya.
Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab’ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira’at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, Quraish berpendapat, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain.
“Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam –akidah, syari’ah, dan akhlak– yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang,” katanya.
“Akan tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi,” lanjut Quraish.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia.
Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.
Menurut Quraish, menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan.
“Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat,” katanya.