JAKARTAMU.COM | Harimurti Kridalaksana dalam bukunya berjudul “Kamus linguistik” (Gramedia, 1983) menjelaskan “metafora” (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan.
Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Muhammad Husen al-Zahaby dalam “al-Tafsir Wa ‘l-Mufassirun” menjelaskan dalam disiplin ilmu al-Qur’an pengalihan arti itu disebut takwil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai “mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya.”
Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan al-Qur’an.
Tapi bagaimana dengan al-Qur’an yang redaksi-redaksinya merupakan susunan Ilahi? Apakah mengenal pula metafora?
Bahasa Arab Asli
Prof Dr M Quraish Shihab dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” mengatakan Al-Qur’an menegaskan, Ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada masa turunnya, tapi gaya susunannya yang bukan prosa dan bukan pula puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka tak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayatnya.
“Hal ini memberi petunjuk atau kesan bahasa al-Qur’an berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika itu,” katanya.
Tapi di sisi lain, para ahli dalam rangka memahami al-Qur’an menelusuri dan mempelajari penggunaan kosakata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan khususnya oleh suku-suku Qais, Tamim dan Asad karena mereka dinilai masih bertahan dengan bahasa Arab asli.
Menurut Quraish, mereka oleh pakar-pakar budaya dan bahasa dinilai belum atau tak tersentuh oleh akulturasi budaya atau bahasa.
Berbeda dengan suku-suku Arab lainnya yang bertetangga dengan daerah-daerah yang tak berbahasa Arab ketika itu seperti, Lakhem dan Juzaam yang bertetangga dengan penduduk Coptik di Mesir atau Gassaan dan Qudha’ah yang bertetangga dengan penduduk Syam yang berbahasa Ibrani. Atau suku Abdi al-qais dan Azad, penduduk Bahrain (Emirat Arab) yang bergaul dengan orang-orang India dan Persia.
Bahkan para pakar bahasa tersebut –tak merujuk dalam rangka memahami kosakata atau ungkapan-ungkapan al-Qur’an– pada penduduk kota-kota Hijaz sekali pun, karena mereka menilai bahwa pergaulan mereka relatif luas sehingga mengakibatkan bahasa mereka tak “asli” lagi.
Isi yang dikemukakan di atas, menjadi bukti bahwa pemahaman al-Qur’an tak terlepas dari pemahaman kosakata atau ungkapan yang digunakan orang-orang Arab pada masa turunnya; dan apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam percakapan mereka maka tentunya dalam al-Qur’an hal yang demikian pasti ditemukan, karena ia diturunkan dengan bahasa Arab, agar dapat mereka pahami (QS Fushshilat: 3).
Ulama Kufah vs Basrah
Penelitian-penelitian yang dilakukan pakar-pakar bahasa, kata Quraish, seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan di antara mereka, khususnya ulama-ulama Kufah versus ulama-ulama Bashrah.
Ini berarti sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum mendapat kesepakatan semua pihak, yang berakibat membawa sebagian ulama pada sikap hati-hati dalam menolak pemahaman metaforis bagi teks-teks keagamaan.
Paling tidak, jika tak memahaminya secara literal, mereka menyerahkan pengertian sekian banyak kosakata atau ungkapan al-Qur’an kepada Allah SWT.
Sikap semacam ini tentunya tak memuaskan banyak pihak dan dari hari ke hari pembahasan masalah-masalah metaforis dalam teks-teks keagamaan tumbuh dengan pesatnya.
Agaknya al-Jahiz (w. 255 H/868 M) merupakan tokoh pertama yang menghasilkan pemikiran-pemikiran jernih menyangkut masalah tersebut.
Walaupun harus diakui bahwa kitab tafsir pertama, karya Abu Ubaidah Mu’ammar bin Al-Mustana (w. 209 H) bernama Majazat al-Qur’an.
Tokoh al-Mahiz adalah seorang penganut aliran rasional dalam bidang teologi (Muktazilah) dan dengan penafsiran-penafsirannya ia telah mampu menyelesaikan sekian banyak problema pemahaman keagamaan yang tadinya dihadapi sekian banyak ulama.
Imam Malik (w. 795 M) misalnya, enggan membenarkan redaksi “langit menurunkan hujan,” karena berkeyakinan bahwa yang menurunkan hujan adalah Allah SWT.
Demikian juga ketika beliau ditanya tentang pengertian Firman Allah dalam QS Thaha: 5, “Tuhan yang maha pemurah bersemayam di atas Arasy.”
Malik menjawab: Pertanyaan semacam ini merupakan bid’ah” (tercela dalam pandangan agama).
Bahkan sebagaimana ditulis al-Jahiz dalam bukunya al-Hayawan ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS al-Baqarah: 74
“… dan di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah …,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah.”
Kemudian mereka berpaham demikian merangkai hikayat-hikayat yang tak mempunyai dasar sedikit pun.
Al-Jahiz yang sangat rasional dan ahli dalam bidang kebahasaan itu membantah pendapat-pendapat semacam itu dengan menunjuk pada penggunaan kosakata atau ungkapan yang sama dan yang pernah digunakan orang-orang Arab menjelang dan pada masa turunnya al-Qur’an.
Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M), murid al-Jahid walau pun bukan penganut aliran Muktazilah bahkan dinilai sebagai “juru bicara Ahl-u’l-Sunnah” melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha gurunya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan berbagai motif yang berkembang dengan sangat pesat; dan tentu menggunakan segala cara dan argumentasi, baik logika maupun kebahasaan.