JAKARTAMU.COM | Setiap bulan Ramadan tiba, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu rukun Islam. Salah satu momen paling dinanti adalah saat berbuka, di mana umat Islam dianjurkan untuk segera membatalkan puasanya begitu waktu magrib tiba. Dalam konteks ini, istilah takjil menjadi sangat akrab di telinga, terutama dalam budaya masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia.
Namun, apakah sebenarnya makna takjil? Dalam bahasa Arab, kata تَعْجِيلٌ (ta’jīl) berarti “menyegerakan” atau “mempercepat.” Makna ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا عَطَاءٌ، عَنْ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ”.
“Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”
(HR. Bukhari No. 1957, Muslim No. 1098)
Dari hadis ini, konsep takjil bukan sekadar tentang makanan ringan atau minuman yang dikonsumsi saat berbuka, tetapi lebih kepada sunnah untuk segera berbuka puasa begitu adzan magrib berkumandang. Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan berbuka dengan kurma atau air putih sebelum melaksanakan shalat magrib, sesuai dengan tuntunan syariat yang mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan dalam beribadah.
Anjuran Berbuka dengan Kurma

Nabi Muhammad SAW menganjurkan berbuka dengan kurma atau air, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
“Adalah Rasulullah SAW berbuka dengan beberapa butir ruthab (kurma basah) sebelum shalat, jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), jika tidak ada maka beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud No. 2356, Tirmidzi No. 696, dan Ahmad No. 22990)
Hadis ini menunjukkan bahwa takjil idealnya berupa makanan yang ringan tetapi memberi energi cepat kepada tubuh setelah seharian berpuasa. Kurma dipilih karena kandungan gula alaminya yang mudah dicerna dan memberikan tenaga dengan cepat.
Takjil dalam Sejarah dan Budaya Islam

Seiring waktu, istilah takjil mengalami pergeseran makna di berbagai budaya Muslim, khususnya di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Jika dalam bahasa Arab takjil merujuk pada perbuatan menyegerakan berbuka, di Indonesia istilah ini lebih sering dikaitkan dengan makanan atau minuman ringan yang dikonsumsi saat berbuka puasa.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah memiliki peran besar dalam mempopulerkan budaya takjil di Indonesia. Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan – Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010) mencatat bahwa Muhammadiyah tidak hanya berkontribusi dalam memperkenalkan konsep berbuka puasa dengan takjil, tetapi juga dalam membentuk berbagai tradisi sosial selama Ramadan. Salah satunya adalah penyediaan makanan berbuka bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Muhammadiyah juga memperkenalkan berbagai kegiatan sosial di bulan Ramadan, seperti sahur bersama, pembagian makanan untuk berbuka di masjid dan jalanan, serta kajian keagamaan yang semakin memperkuat makna spiritual di bulan suci ini.
Takjil sebagai Simbol Kebersamaan dan Kepedulian Sosial

Di luar makna syariat, takjil telah berkembang menjadi simbol kebersamaan dan kepedulian sosial di masyarakat Muslim. Di banyak negara dengan populasi Muslim yang besar, seperti Indonesia, Malaysia, dan Turki, berbagi takjil telah menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan sosial selama Ramadan.
Di Indonesia, misalnya, tradisi berbagi takjil di jalanan atau di masjid menjadi pemandangan yang umum. Banyak komunitas, organisasi, dan individu yang secara sukarela membagikan makanan berbuka puasa kepada orang-orang yang masih berada di perjalanan atau mereka yang kurang mampu. Tradisi ini mengandung pesan bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang meningkatkan rasa empati dan solidaritas terhadap sesama.
Di Timur Tengah, konsep takjil juga diwujudkan dalam bentuk iftar jama’i atau berbuka puasa bersama di masjid-masjid besar. Di Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, misalnya, ribuan jamaah duduk berjejer menikmati takjil yang dibagikan secara gratis oleh dermawan dan yayasan sosial. Hal serupa juga terjadi di banyak negara Muslim lainnya, di mana Ramadan menjadi momen untuk memperkuat nilai-nilai sosial dan kebersamaan.
Esensi Takjil: Keseimbangan Antara Spiritual dan Sosial

Lebih dari sekadar makanan ringan sebelum makan utama, takjil memiliki makna yang lebih mendalam dalam ajaran Islam. Ia mengajarkan keseimbangan antara aspek spiritual dan sosial. Dari sisi spiritual, takjil adalah bentuk kepatuhan terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan berbuka puasa dengan segera. Dari sisi sosial, takjil menjadi simbol kepedulian dan persaudaraan di antara sesama Muslim.
Ketika seseorang berbagi takjil, ia tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga berbagi kebahagiaan dan keberkahan Ramadan. Momen ini mengingatkan kita bahwa dalam Islam, berbagi kepada sesama adalah bagian dari ibadah yang memiliki nilai pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًۭا وَيَتِيمًۭا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءًۭ وَلَا شُكُورًۭا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka berkata,) ‘Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak (pula) ucapan terima kasih darimu.'” (QS. Al-Insan: 8-9)
Sebagai kesimpulan, takjil bukan hanya sekadar makanan berbuka, melainkan sebuah tradisi yang menyimpan nilai-nilai kebaikan, kebersamaan, dan kepedulian. Ia mengajarkan bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa lebih peduli terhadap sesama, mempererat tali silaturahmi, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Dwi Taufan Hidayat)