Senin, Maret 3, 2025
No menu items!

Tanah Berdarah di Bangil

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

LANGIT Bangil memerah, bukan karena senja, melainkan nyala api yang menari di atas rumah-rumah yang terbakar. Bau mesiu, darah, dan tanah basah bercampur menjadi satu, membentuk aroma yang menghantui malam-malam para pejuang. Di sebuah sudut jalan tanah, lima orang laki-laki berdiri dalam keheningan yang menyesakkan. Mereka bukan prajurit resmi, bukan pula tentara terlatih, tetapi mereka adalah harapan terakhir rakyat kecil yang menginginkan kemerdekaan.

Masing-masing memiliki cerita, memiliki masa lalu yang berkelindan dengan penjajahan, pengkhianatan, dan persatuan yang rapuh. Ada yang memakai topi tentara Jepang, ada yang berudeng khas pribumi, ada pula yang memakai pet kusam dengan sarung melilit pinggang. Namun, satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan: bahwa tanah ini harus bebas.

Sakiman melirik ke arah teman-temannya dengan mata tajam. Dahulu, ia seorang mandor di perkebunan tebu Belanda. Hidupnya enak, berkecukupan. Tetapi setelah Jepang datang, semua berubah. Kekejaman mereka tak tertahankan. Ibunya dibunuh karena dituduh menyembunyikan pejuang. Adiknya diangkut ke Romusha.

Kini, Sakiman berdiri di sini, mengenakan sisa seragam Jepang yang ia curi dari gudang persenjataan di Surabaya. Tidak untuk berkhianat, tetapi untuk membalaskan dendam. Ia tahu, perang ini bukan hanya soal tanah, tetapi harga diri.

Di sebelahnya, Bejo mengeratkan pegangan pada sebatang bambu runcing. Ia hanya seorang petani yang dipaksa mengangkat senjata. Baginya, kemerdekaan berarti bisa kembali ke sawah, menanam padi, dan memberi makan anak-anaknya. Ia tak paham strategi perang, tetapi satu hal yang ia tahu: musuh harus disingkirkan.

“Besok kita serang pos mereka di Pasuruan,” suara berat Sudarmo memecah hening. Ia mantan anak buah Kempetai Jepang yang membelot.

“Kau yakin kita bisa?” tanya Kosim, si lelaki bertopi pet yang dulu dikenal sebagai preman pasar.

Sakiman mengangguk, “Bukan soal bisa atau tidak. Ini soal harus.”

Namun, tidak semua di antara mereka memiliki hati yang murni untuk perjuangan. Dari balik keremangan, Karyo menyelipkan sebuah surat ke saku celananya. Surat itu ia dapatkan dari seorang opsir Belanda yang menjanjikan uang dan keselamatan, asal ia bersedia memberi informasi tentang rencana penyerangan pejuang.

Karyo tidak pernah merasa perang ini miliknya. Baginya, hidup adalah tentang siapa yang paling cepat membaca keadaan. Jika Belanda kembali berkuasa, maka ia harus memastikan dirinya tetap di pihak yang menang.

Malam itu, ia menyelinap ke luar, menuju rumah seorang saudagar yang diam-diam masih menjalin hubungan dengan tentara kolonial. Dengan suara pelan, ia membisikkan segala strategi yang akan dilakukan esok hari.

Subuh keesokan harinya, Bangil tercekam dalam keheningan. Lima orang itu berjalan menyusuri kebun tebu menuju Pasuruan. Mereka tak tahu bahwa rencana mereka telah bocor.

Ketika mereka sampai di depan pos Belanda, tidak ada tanda-tanda penjagaan ketat. Seolah-olah musuh lengah. Namun, Sakiman merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Kita sudah ketahuan…” bisiknya pada Bejo.

Sebelum ia sempat berkata lebih banyak, rentetan peluru meletus dari balik semak-semak. Karyo tersenyum puas di sudut pos, tepat di samping seorang perwira Belanda yang menepuk bahunya.

Tapi ia lupa, dalam perang, pengkhianat tidak pernah benar-benar dipercaya. Dalam hitungan detik, moncong senapan yang sebelumnya menembaki Sakiman dan kawan-kawan kini berbalik ke arahnya.

Dor!

Tubuh Karyo roboh di tanah berlumpur, menggenangi dirinya sendiri dengan darah.

Bangil, 8 Februari 1948.

Lima orang itu kini hanya tinggal tiga. Bejo tertembak di bahu, tetapi ia masih bisa berjalan. Sudarmo kehilangan telinganya akibat serpihan granat. Dan Sakiman, meski tubuhnya penuh luka, masih menggenggam senapan dengan erat.

Mereka berbalik meninggalkan pos yang telah hancur, dengan hati yang lebih berat daripada tubuh mereka.

Di kejauhan, di bawah langit merah yang belum sepenuhnya pulih dari sisa-sisa perang, terlihat bayangan-bayangan pejuang lain yang mulai berdatangan.

Ada yang memakai topi tentara Jepang, ada yang memakai udeng, ada yang memakai pet, dan tak lupa sarung dengan tak beralas kaki atau sepatu.

Mereka hanya membawa keyakinan dan berseragam persatuan untuk kemerdekaan Indonesia.

Sang Pejuang, Bangil, Pasuruan, 8 Februari 1948.

PM Malaysia Anwar Ibrahim Terima Delegasi PP Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersilaturahmi dengan Perdana Menteri Malaysia Dato Sri Anwar Ibrahim di Gedung Perdana Menteri...

More Articles Like This