Kamis, November 21, 2024
No menu items!

Tantangan Moderasi Beragama di Era Kecerdasan Buatan

Must Read

SALATIGA – Pada dasarnya, bangsa Indonesia secara genetik memiliki ideologi tengahan. Hal ini bisa ditengok pada masa sebelum republik terbentuk hingga masa perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Kendati membawa beragam pemikiran dari banyak, para tokoh bangsa mampu melakukan konsensus.

“Konsensus fundamental, mengenai konstitusi bangsa, Pancasila. Tidak mengambil ideologi agama, tidak mengambil ideologi sekuler. Bangsa lain mengagumi, karena bangsa ini DNAnya washatiyah,” tegas Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Fajar Riza Ulhaq pada Kuliah Umum bertema Moderasi Beragama di Era Artificial Intelligence di UIN Salatiga, dalam siaran pers yang diterima redaksi Jakartamu, Rabu (4/9/2024).

Kendati demikian, dalam perjalanannya gen tengahan bangsa Indonesia iniselalu mendapatkan tantangan zaman. Terlebih dii era kecerdasan buatan saat ini, tantangan untuk mempertahankan gen tengahan agar tidak terkoyak juga semakin besar. Karena itu pemahaman mengenai moderasi beragama semakin penting.

Fajar yang juga Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara itu menuturkan bahwa setidaknya ada lima Indikator dalam Moderasi Beragama. Pertama, Komitmen kebangsaan. Apa pun agama kita tidak mempersoalkan kebangsaan kita.

Kedua, Toleransi yang tinggi. Islam berkembang bisa diterima diIndonesia secara damai, karena menebarkan tasamuh, toleransi. Karena cara beragama secara ekstrem, akan memicu benturan. Masing-masing agama di Indonesia melakukan upaya moderasi agar tidak terjadi benturan.

Ketiga, Menghargai tradisi. Islam berkembang baik karena menghargai tradisi. Menerima tradisi yang membawa maslahat, menolak yang mafsadat. Keempat, Menjauhi perilaku kekerasan. Kekerasan fisik, namun juga verbal, bullying. Bullying musuh pendidikan, bullying bagian dari kekerasan.

Kelima, Menerima modernitas, menerima kemajuan. Tradisi dan modernitas harus seiring dan sejalan, tidak perlu dipertentangkan. Karena manusia ini orientasi ke depan.

Menurut Fajar moderasi beragama juga perlu dibarengi dengan sikap moderasi keindonesiaan. ”Yang menyelamatkan bangsa ini adalah sikap moderat, tengahan,” kata Fajar.

Untuk itu, Fajar mengajak para mahasiswa dan masyarakat luas untuk bijak menggunakan media sosial. Dia memberikan kiat dalam upaya menghadapi isu-isu di media sosial. Pertama, menunda penghakiman. ”Kalau suka dengan suatu tokoh dibaca, sebaliknya jika tidak, maka abaikan saja. Kalau sesuai dengan kita maka kita share. Kita harus melakukan penilaian,” tutur Fajar.

Kedua, Critical thinking, nah kita harus punya budaya kritis. Ini yang membedakan orang dengan yang tidak kuliah. Critical thinking menjadi piranti penting anda untuk survive pas kuliah nanti.

Ketiga, Kesadaran dan empati. Perkembangan AI, beberapa tahun ke depan melihat perkembangan kecerdasan buatan ke depan. Namun tidak ada yg dimiliki kecerdasan buatan, yaitu kesadaran dan rasa. Kapabilitas intelektual dan memiliki empati. Selian intelektual, kampus harus mengasa rasa, empati. Mengasah kecerdasannya, dan mengasah hatinya.

Buta Maritim, Namarin Kritik Erick Thohir Angkat Heru sebagai Dirut ASDP

JAKARTAMU.COM | Kabar mengejutkan datang dari industri maritim nasional. Pada Selasa, 19 November 2024 lalu, Menteri BUMN Erick Thohir...

More Articles Like This