JAKARTAMU.COM | Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, SSos, MSi menegaskan sikap penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi. Menurut dia, kebijakan tersebut akan mematikan nalar kritis kampus yang tidak sejalan dengan spirit perguruan tinggi.
”Saya sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta berpandangan bahwa ikhtiar untuk memberikan pengelolaan tambang ke kampus sejalan dengan spirit perguruan tinggi. Biarlah itu dilakukan oleh ahli-ahli yang selama ini sudah bergerak di pertambangan,” kata Ma’mun Murod melalui saluran youtube TVUMJ, dikutip Minggu (2/2/2025).
Baca juga: Upaya Merebut Benteng Terakhir Lewat Hak Pengelolaan Pertambangan
Dia mengingatkan bahwa tugas kampus adalah menyiapkan sunber daya manusia (SDM), kelompok terdidik yang berkenaan dengan masalah tambang, bukan pada pengelolaannya. Melibatkan kampus dalam urusan teknis pertambangan, lanjut Ma’mun Murod, sangat berisiko.
”Dan yang jauh lebih dari itu, saya kira yang sangat dikhawatirkan adalah akan matinya nalar kritis kampus, terutama dalam mengikapi kebijakan-kebijakan pemerintah,” ujar dia.
Ma’mun Murod juga mengingatkan bahwa mengelola tambang itu bukan persoalan yang kecil. ”Butuh resources yang luar biasa banyak dan kampus saya kira tidak akan punya kemampuan itu,” katanya.
Baginya sangat naif kalau pada akhirnya kampus mendapat jatah tambang tetapi dalam praktiknya diperjualbelikan kembali kepada pengelola tambang. ”Maka saya sekali lagi sebagai Rektor Mubas Muhammadiyah Jakarta termasuk yang tidak bersepakat kalau kampus diberi hak untuk pengelolaan tambang,” tegas Ma’mun Murod.
Baca juga: Agung Danarto Jelaskan Isu Muhammadiyah Gandeng Perusahaan Besar Kelola Tambang
Wacana pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi mengemuka dalam pembahasan perubahan Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (Minerba) di DPR. Para wakil rakyat berniat memberi perguruan tinggi hak pengelolaan pertambangan. Salah satu alasannya untuk membuka opsi pendanaan perguruan tinggi secara lebih luas sehingga bisa menekan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Tetapi hal ini memicu polemik. Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyambut baik inisiatif ini, sementara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menolak dengan alasan bahwa pengelolaan bisnis pertambangan bukan merupakan wilayah perguruan tinggi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ikut bersuara, mengingatkan bahwa kampus seharusnya ikut mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyiapkan generasi yang cerdas, andal, dan berprestasi, bukan malah terlibat dalam bisnis pertambangan.
Tidak hanya dianggap kurang tepat, kebijakan ini justru potensial menimbulkan kecemburuan di kalangan perguruan tinggi sendiri. Dari 4.523 perguruan tinggi (Pangkalan Data Dikti 2023), tentu tidak semuanya akan memperoleh konsesi.
Lalu apa kriteria perguruan tinggi bisa mendapatkan konsesi tambang hingga kini belum jelas. Sama dengan tidak jelasnya kriteria organisasi kemasyarakatan yang akan mengelola tambang.