Rabu, April 2, 2025
No menu items!
spot_img

Tentara Berpolitik (bagian-1): Perspektif Akademis Dwifungsi ABRI

Must Read

DUA perspektif akademis dapat kita baca perihal keterlibatan militer dalam politik di Indonesia. Kajian terhadap Dwifungsi ABRI semasa Orde Lama maupun Orde Baru, tidak mungkin meninggalkan perspektif akademis Ulf Sunhausen di satu sisi dan Daniel S. Lev di sisi sebelahnya.

Ulf Sunhausen memandang bahwa keterlibatan militer dalam percaturan politik Indonesia terdorong kegagalan politisi sipil pada kurun Demokrasi Parlementer, yaitu 1950-1958. Bahkan, secara tersamar kegagalan itu bisa terlacak pada periode Noember 1945 hingga 1949, yaitu di masa kabinet Syahrir-Amir Syarifudin-Hatta.

Penyelenggaraan negara dan pemerintahan pada periode tersebut mulai meninggalkan sistem presidensial UUD 1945. Presiden hanyalah kepala negara. Pemerintahan ditangani kabinet yang dikomandani perdana menteri. Tentara duduk sebagai alat negara yang tunduk kepada kabinet.

Baca juga: Tentara Berpolitik (bagian-2): Pintu Masuk Itu Konsep Jalan Tengah

Dekrit yang Merontokkan Politik Sipil

Parlemen dengan kekuatan partai politik menjadi pilar kekuasaan yang mendominasi hingga rontok ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perintah kembali ke UUD 1945 yang merupakan kolaborasi Presiden Soekarno-Jenderal A.H Nasution mengakhiri kedigdayaan parlemen pada era Demokrasi Konstitusional tersebut.

Era liberalisasi, sistem parlementer berdasarkan UUD Sementara 1950 yang politiknya bersokoguru pada kekuatan sipil melalui partai politik masuk liang kuburan sejarah. Demokrasi Terpimpin dimulai. Presiden Soekarno yang mendapat sokongan penuh militer memegang komando kenegaraan dan pemerintahan, menandai awal sistem presidensial.

Tentara masuk ke semua lembaga negara, baik eksekutif, legislative, maupun yudikatif. Bukan saja di bidang kementerian Negara, tentara pun masuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, menduduki jabatan di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Orde Lama meninggalkan kisah bahwa Ketua MA pun berstatus menteri di bawah Presiden Soekarno. Polisi adalah unsur militer (Angkatan Kepolisian RI, sejak 1961). Orde Baru jauh lebih luas dan mendalam, para jenderal merangsek menjadi ketua MA dan Jaksa Agung. Pada masa ini polisi tetap masuk lingkungan militer (ABRI) sebagai “saudara termuda”.

Posisi utama yang diperoleh tentara itu memperoleh pembenaran sejarah, yaitu kegagalan sipil sejak November 1945 sampai dengan Juli 1959.

Baca juga: Merunut Perjuangan Diplomasi: Catatan 27 Desember 1949

Ambisi Kuasa Sebelum Merdeka

Perspektif kedua disampaikan Daniel Lev. Dia melihat militer memang punya ambisi politik kekuasaan dan telah mempersiapkannya menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Lihatlah penculikan Soekarno-Hatta pada 16 Agustus 1945.

Ada perdebatan yang mendahuluinya, yaitu pada 15-16 Agustus, antara pengikut Tan Malaka   (Soekarni, Chairul Saleh, Eri Sudewo, dan mantan opsir PETA) dengan Soekarno-Hatta bersama PPKI-nya. Tan Malaka cs menghendaki perjuangan bersenjata ketimbang perundingan seperti yang garis Soekarno-Hatta dalam menghadapi kekalahan Jepang, termasuk menghadapi kedatangan Sekutu (Inggris plus NICA-Belanda yang ingin kembali menjajah) sebagai kelanjutannya.

Ulf Sunhausen maupun Daniel Lev mengakui, militer Indonesia memasuki politik kekuasaan secara sadar. Perbedaannya hanya pada motivasi maupun penyebabnya. Ambisi kekuasaan politik itu terganjal ketika Perang Kemerdekaan 1945-1949, ketika pemerintahan yang berlaku adalah parlementer. Pada kurun itu sipil selalu memegang kementerian pertahanan (Amir Syarifudin- Hatta- Sultan Hamengkubuwono IX).

Namun militer mencatat dengan dendam ketika RI jatuh di tangan tentara Belanda pada Agresi Militer II, 19 Desember 1948. Presiden, wakil presiden dan beberapa anggota kabinet menyerah kepada Belanda. Istana Kepresiden di ibukota RI Jogjakarta mengibarkan bendera putih. Sementara tentara melanjutkan perjuangan bergerilya dengan pimpinan tertinggi Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Bagi tentara dan Wakil Panglima Besar sekaligus Kepala Staf Komando Jawa – Mayor Jenderal AH Nasution kala itu, penyerahan diri presiden, wakil presiden dan para anggota kabinet untuk ditangkap itu  merupakan puncak kehinaan. Dari sini kisah militer “terpaksa” masuk politik memperoleh justifikasi  historis.

Selain Indonesianis semacam Ulf Sunhausen, Daniel Lev, dan Herbert Feith, para sejarahwan militer, ahli kajian pertahanan (dari kalangan non tentara) seperti Salim Said, Andi Wijayanto, dan Yahya Muhaimin juga mengkaji kisah awal ini.

Konsep, strategi, hingga taktik politik militer mulai tersusun pasca kegagalan Peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa itu menjadi puncak konflik internal TNI AD maupun militer secara umum, menghadapi supremasi partai politik yang terkonsentrasi di parlemen/DPR-S.

Dari arena konflik itu, PKI paling memusuhi militer. Melalui gerakan dan pernyataan DN Aidit dkk (MH Lukman, Nyoto, Sakirman, dan Sudirman), PKI ngotot menarasikan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah pemberontakan, setara dengan Madiun Affair pada 1948, DI/ TII, dan PRRI/Permesta pada 1958.

Kian Gila..! Perang Pemerintahan Trump Melawan Aktivis Pro-Palestina di Kampus-Kampus AS

JAKARTAMU.COM | Momodou Taal, seorang aktivis Inggris-Gambia dan mantan mahasiswa PhD di Universitas Cornell, mengumumkan pada hari Selasa melalui...

More Articles Like This