Kamis, April 3, 2025
No menu items!
spot_img

Tentara Berpolitik (bagian-2): Pintu Masuk Itu Konsep Jalan Tengah

Must Read

JAKARTAMU.COM | Jenderal Abdul Haris Nasution menilai Panglima Besar Jenderal Sudirman otonom dalam pergulatan politik. Artinya, TNI tidak pernah menghindar dari keharusan terlibat dengan tujuan agar tidak tercabik-cabik oleh pertarungan kekuatan politik.

Otonomi politik TNI yang dikehendaki Panglima Besar Jenderal Sudirman ini disadari oleh Jenderal Nasution. Diimplementasikan dalam Konsep Jalan Tengah yakni tentara bukan semata  berfungsi sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, melainkan juga mesti dilibatkan dalam fungsi politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Salim Said dalam Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi mengemukakan tiga hal terkait Jalan Tengah. Pertama, konsep Jalan Tengah yang digagas Nasution mendapat dukungan pakar Hukum Tata Negara Prof Mr. Djoko Soetono. Bahkan istilah Jalan Tengah itu sendiri lahir dari buah pikiran Djoko Soetono.

Kedua, Sang profesor mengingatkan Nasution bahwa Jalan Tengah mensyaratkan kembalinya UUD 1945 agar secara intrinsik TNI memperoleh peran politik, disamping peran hankam. Ketiga, keterlibatan militer bukanlah secara organisasi, melainkan cukup sebagai partisipasi perseorangan. Kini hal itu bisa ditanyakan. Haruskah seorang militer berhenti dari kedinasan sebelummemangku jabatan non-militer?

Jalan Tengah menghendaki perluasan fungsi tentara untuk berperan-serta di luar fungsi pertahanan. Tak ingin terjebak kekuasaan melalui junta militer sebagaimana dipraktikkan di negara-negara Amerika Latin, namun juga menolak hanya menjadi alat kekuasaan sipil.

Baca juga: Merunut Perjuangan Diplomasi: Catatan 27 Desember 1949

Jalan Tengah sebagai Respons Kekecewaan Politik

Konsep Jalan Tengah ditawarkan Nasution dalam pidato tanpa teks di Akademi Militer Magelang pada 13 November 1958. Konsep ini lahir sebagai refleksi dan sekaligus menghasilkan visi melalui pergolakan politik yang panjang sejak 1952.

Sebelum 1952, tentara pun telah mengalami kekecewaan terhadap sikap dan jalan politik para politisi sipil yang mengedepankan perundingan (Linggarjati 1946, Renvile 1947, KMB  1949). Selain itu, tentara juga kelelahan karena terus menjadi “pemadam kebakaran politik” selama 1948-1958 (Pemberontakan PKI/Madiun APRA, RMS, DI/TII, Westerling, PRRI/ Permesta).

Peristiwa 27 Juni 1955 mengenai aksi pemboikotan militer terhadap pelantikan Kolonel Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang menggantikan Kolonel Bambang Sugeng meningkatkan ketegangan. Sebulan kemudian, 22 Juli 1955 Kabinet Ali Sastroamidjojo pun jatuh.

Meski begitu, harus diakui bahwa pergolakan politik internal TNI AD maupun eksternal yang melingkupinya justru memunculkannya sebagai kekuatan politik dengan Nasution sebagai sosok sentral.

Pada Kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi) yang menggantikan Ali Sastroamidjojo, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD pada November 1955. Sesudah pelantikannya, Nasution dan TNI AD menghadapi pertarungan politik di parlemen hasil Pemilu 1955 (29 September untuk pemilihan DPR dan 15 Desember untuk pemilihan Konstituante ). Sementara pemilu DPRD dilakukan Juli 1957.

Pangkat Nasution pun naik dari Kolonel menjadi Mayor Jenderal. Dalam posisinya itu Nasution dituntut melakukan konsolidasi internal TNI AD yang melahirkan pergolakan militer di daerah-daerah. Namun keberhasilan menyelesaikan dua  tugas berat ini, menaikkan posisi tawar poliyik Nasution dan TNI AD di hadapan Presiden Soekarno ketika Masyumi dan PSI hancur.

Kolaborasi strategis antara Angkatan Darat dan Bung Karno pun dimulai. Bagi Herbert Feith  (Soekarno – Militer dalam Demokrasi Terpimpin), kolaborasi ini bergulir karena dorongan kepentingan yang sama yakni menyapu bersih demokrasi liberal, intervensi Barat, sistem parlementer, dan sistem kepartaian.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, khususnya di lapangan tambang  minyak dan gas bumi, perkebunan dan sejumlah badan usaha transportasi milik Belanda juga memberikan rezeki bisnis kepada TNI AD. Muncul Kolonel Ibnu Sutowo yang dipercaya Nasution mengelola tambang minyak di Sumatera. Keterlibatan militer dalam urusan di luar hankam kian menyeruak sebagai bukti kolaborasi dengan Soekarno yang memperoleh legalitas di atas Jalan Tengah.

Pada Kabinet Karya di bawah Perdana Menteri Djuanda (9 April 1957), tiga militer aktif diangkat menjadi menteri. Soekarno juga membentuk Dewan Nasional berdasarkan UUD Darurat Nasional (UU Nomor 7 Tahun 1957).

Baca juga: Tentara Berpolitik (bagian-1): Perspektif Akademis Dwifungsi ABRI

Jalan Tengah dan Doktrin Perang Gerilya

Sejak itulah, praktik Jalan Tengah kian meluas, dipadukan dengan doktrin perang gerilya yang diterapkan melalui komando teritorial dengan pembentukan 16 Kodam. Doktrin lalu diperluas menjadi Perang Wilayah yang melahirkan pembentukan Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa. Nasution sering menyebutkannya sebagai strategi mengimbangi kemajuan PKI dengan Pemuda Rakyat dan SOBSi serta BTI.

Ketika golongan fungsional yang didominasi militer  melalui Sekber Golkar menguat, militer kehilangan otonominya agar tidak tercabik. Militer justri bertiwikrama menjadi kekuatan politik praktis, yang berkonsekuensi memasuki pertarungan politik melawan PNI, NU, dan PKI yang dimainkan Soekarno.

Presiden Soekarno menyadari ini. Karena itu dalam permainan pendulum kanan-kiri, Bung Karno memposisikan dirinya sebagai Panglima Tertinggi. Sejak 1959, Bung Karno lebih sering tampil dalam seragam jas kebesaran militer dengan bintang lima dipundaknya.

Pada awal 1960 lahirlah kekaryaan dan Sekber Golkar yang dibidani TNI Angkatan Darat atas restu dan dorongan Presiden Soekarno. Tujuannya antara lain dimaksudkan untuk memperkuat  TNI AD menghadapi PKI, yang kian giat setelah Masyumi dan PSI bubar pada September 1960. Sekber Golkar menghimpun sejumlah ormas Islam, kecuali NU yang berdiri sebagai parpol. Muhammadiyah termasuk ormas Islam menjadi anggota Sekber Golkar

Adakah perubahan orientasi fungsi militer menjaga politik negara ataukah tentara telah menguasainya sebagai negara itu sendiri? Nah, perjalanan di Jalan Tengah ini tampaknya semakin meluas dan mendalam, sebagaimana watak kekuasaan yang tidak ingin mengecil. Kelak Jalan Tengah mengubah doktrinnya menjadi Dwifungsi sejak Seminar Angkatan Darat Ke-2 di Bandung tahun 1966. (*)

Sekretaris PWM Jawa Barat Mengajak Umat Islam Menjaga Spirit Ramadan

BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat Iu Rusliana mengajak seluruh warga persyarikatan dan umat Islam...

More Articles Like This