Rabu, April 16, 2025
No menu items!

Tentara Berpolitik (bagian terakhir): Kegelisahan Kini Keresahan Masa Lalu

Must Read


DWIFUNGSI ABRI (TNI-Polri) adalah masa lalu. Praktk Demokrasi Konstitusional pada 1950-1959, atau sebaliknya Demokrasi Terpimpin pada 1959-1966 di masa Orde Lama (Orla) ditelan zaman Orde Baru (Orba). Modifikasi bablasannya dikenal sebagai Demokrasi Pancasila (1968-1998), lalu disingkirkan Reformasi (1999-2024).

Sepanjang masa itu, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif masih bersandar pada siapa yang berkuasa dan untuk apa perebutan kekuasaan dipertarungkan. Politik  determinan atas hukum. Politik adalah panglima dengan pasangan abadinya, yakni ekonomi. Sosial kebudayaan hanya merupakan cerminan politik. Tak ada strategi  kemampuan yang mampu mencerahi perjalanan politik

Sejauh ini, hukum tak berdaya menghadapi kekuatan DPR dan presiden dalam proses pengambilan keputusan. Di DPR, hukum terjebak dalam prosedurnya sendiri dan tampak rendah diri dalam proses legislasi. Reformasi menghadirkan Mahkamah Konstitusi dan KPK untuk menyeimbangkan kekuasaan, tapi keduanya masih terpengaruh intervensi eksekutif.

Panggilan masa lalu yang romantis, kadang menghampiri dijembatani fantasi. Sekadar pelarian untuk menghindari keseharian yang buntu. Sebutlah seruan akan kebanggaan pada rezim Soeharto yang disosialisasikan pada kaos t-shirt: Isih enak jamanku to?  (Masih enak jaman saya kan?), dengan gambar wajah Pak Harto tersenyum renyah namun berwibawa. Contoh lain adalah gambar Bunga Karno yang melatarbelakangi atributisasi Megawati dan PDIP.

Pemantik masa lalu dengan setting waktu Orla maupun Orba selalu disejalankan dengan kebanggaan kepada atribut militer, ormas kepemudaan, bahkan hampir semua partai politik. Bahkan para purnawirawan tentara (khususnya pati dan pamen ) berbondong-bondong masuk partai politik di sepanjang era reformasi karena kehendak agar tetap eksis berkuasa.

Dulu semasa Golkar yang mendominasi pemerintahan namun  “malu” disebut partai politik, tentara menjadi penopang utama bersama birokrat sipil. Bukankah Golkar adalah kendaraan politik militer dan aparat sipil negara ketika  negara dan pemerintahan Orla sampai Orba? Kata “rakyat” sering dicurigai sebagai produk kiri. Hanya didekati ketika menjelang pemilu yang selalu telah diketahui siapa pemenangnya.

Kini Golkar telah formal menjadi partai politik. Dan, bagai amuba, Golkar membelah diri menjadi sekian partai yang bergaris komando ala militer. Kekuatan politik yang dibidani militer dan disponsori Soekarno-Orla maupun Soeharto -Orba inilah yang kini  berkibar di atas angin. Mereka menggulung  partai-partai politik berpaham nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam. Partai politik yang berbasis masa kaum muslimin hanya mampu bertahan hidup dan berharap belas kasihan.

Masa lalu yang gemilang kerap membayangi dan menggoda ambisi siapa pun, terutama dalam perebutan kekuasaan. Ia memengaruhi arah dan langkah politik yang mulai menunjukkan geliatnya. Sinyal ajakan pun muncul, ditujukan kepada kekuatan politik yang sedang berkuasa, didukung oleh para aktor pelengkap yang ikut mengiringinya. Barisan yang mencoba kritis pun tak kalah gesit untuk bermimpi akan idealisasi demokrasi konstitusional (1950 -1959).

Karena terbawa oleh mimpi dan kepentingannya masing-masing, sering kali sikap yang muncul lebih emosional daripada rasional. Akibatnya, masa lalu kerap dimenangkan dibandingkan realitas kekinian. Dua kutub — militer dan sipil — saling mengklaim kehebatan masa lalunya masing-masing.

Sementara itu, kultur literasi yang tipis, kalah oleh dominasi budaya lisan, menimbulkan keraguan terhadap daya ingat kolektif kita. Menggunakan memori masa lalu — yang kerap tidak utuh — sebagai parameter untuk menilai kompleksitas persoalan kekinian tentu mengundang pertanyaan besar: apakah itu sepadan dan adil?

Karena itu, menjadikan masa lalu sebagai titik kembali adalah sikap yang ahistoris. Kita tidak lagi hidup di masa lalu, meski harus diakui bahwa masa lalu tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita saat ini.

Begitulah sila Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam berbagai bentuk kelembagaan — sejak pasca-Proklamasi, melalui masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin (Orde Lama), hingga masa Orde Baru yang “ditempeli” Pancasila. Semua itu adalah bagian dari proses sejarah. Bukan kesalahan, melainkan pelajaran. Kepada masa lalu kenegaraan dan pemerintahan kita, sudah selayaknya kita berterima kasih.

Namun, jangan biarkan masa lalu dengan seluruh peristiwa yang menyelimutinya justru membelenggu. Karena bisa jadi, jika terus terjebak di dalamnya, masa depan yang insyaallah lebih cemerlang justru akan terenggut. (*)

Dari Mogok Sekolah hingga Raih Beasiswa ke Jepang dan Jadi Manajer Muda: Kisah Orang Tua Inspiratif yang Tak Menyerah

JAKARTAMU.COM | “Punya anak tiga tapi tidak ada yang suka sekolah, lalu bagaimana nanti masa depannya?” Pertanyaan penuh...
spot_img

More Articles Like This