PERNYATAAN Prof. Yohanes Surya bahwa “tidak ada anak yang bodoh” bukan sekadar ungkapan motivasional, tetapi sebuah deklarasi revolusioner yang menggugat paradigma lama dalam dunia pendidikan. Dalam konteks kisah nyata yang beliau buktikan di Papua, pernyataan ini berdiri di atas fondasi empiris yang tak terbantahkan—bahwa potensi anak tidak ditentukan oleh latar geografis, suku, atau indeks kecerdasan daerahnya, melainkan oleh bagaimana pendidikan diberikan dan siapa yang memberikannya.
Ketika Yohanes meminta dicarikan anak-anak “paling bodoh” di Papua—mereka yang bahkan tidak tahu 25+27, atau belum bisa membaca dan menulis—ia bukan sedang merendahkan, melainkan menantang sistem: bisakah seseorang dengan metode pendidikan yang tepat membalikkan keadaan?
Dan jawabannya: bisa. Dalam dua tahun, anak-anak yang sebelumnya dipandang tidak mampu, bahkan oleh masyarakatnya sendiri, berhasil meraih 10 medali di ajang Olimpiade Sains Asia. Ini adalah pencapaian monumental yang menampar logika malas dunia pendidikan: bahwa prestasi adalah privilese dari anak-anak kota besar, atau mereka yang lahir dalam ekosistem pendidikan yang ‘ideal’.
Apa kunci keberhasilan ini? Di sinilah letak bobot dari pernyataan Yohanes: “Jika gurunya hebat, maka muridnya akan menjadi lebih hebat.”
Pendidikan selama ini terlalu berfokus pada input (kecerdasan bawaan, nilai masuk, latar keluarga), padahal kunci sesungguhnya terletak pada proses—bagaimana guru mengajar, memotivasi, dan memanusiakan murid. Guru bukan hanya pengajar kurikulum, tetapi pencipta atmosfer belajar yang memantik potensi tersembunyi. Yohanes tidak membawa keajaiban, ia hanya membawa kepercayaan: bahwa semua anak bisa belajar asal diberi kesempatan dan metode yang tepat.
Logika di balik itu sederhana namun kuat: anak-anak bukan mesin produksi nilai, mereka makhluk yang berpikir, merasa, dan berkembang jika dipahami. Ketika kita menganggap anak “bodoh”, yang sebenarnya kita tunjuk adalah kegagalan sistem untuk memahami cara belajarnya. Ada anak yang tak paham matematika bukan karena mereka malas atau kurang cerdas, tapi karena tidak diajarkan dengan cara yang sesuai dengan struktur berpikir mereka.
Kisah Yohanes menjadi antitesis dari pola pikir diskriminatif dalam pendidikan. Ia membuktikan bahwa “anak bodoh” adalah mitos yang dikonstruksi oleh sistem yang malas berbenah dan enggan mengevaluasi metode. Kisah ini adalah kritik diam terhadap pendidikan formal yang terlalu tekstual, berorientasi pada angka, dan lupa pada peran guru sebagai inspirator.
Lebih dalam lagi, ini adalah kisah tentang keadilan. Keadilan pendidikan berarti bukan hanya membuka akses, tapi juga menjamin kualitas, perhatian, dan dedikasi yang sama, bahkan lebih, bagi mereka yang paling terpinggirkan. Yohanes telah memberikan itu—dan hasilnya bukan hanya medali, tapi penghargaan terhadap martabat anak-anak Papua yang selama ini dianggap ‘tidak bisa’.
Kita butuh lebih banyak Yohanes Surya. Tapi yang lebih penting: kita butuh sistem yang mendukung munculnya Yohanes Surya di setiap daerah, agar semua anak Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—tidak lagi diukur dengan standar homogen, melainkan dibimbing sesuai keunikan masing-masing.
Karena benar kata beliau: “Tidak ada anak yang bodoh.” Yang ada hanyalah pendidikan yang belum menemukan cara.