Selasa, Maret 4, 2025
No menu items!

Tingkatan Puasa Menurut Al-Ghazali: Tertinggi Puasa Paling Khusus

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Imam al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” membagi tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.

Menurut al-Ghazali, yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa.

Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT.

Al-Ghazali mengatakan untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.

Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.

Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara zahir. Puasa awam dianggap sebagai gerbangnya puasa. Untuk mencapai tingkat puasa khusus, muslim harus melalui puasa awam terlebih dahulu.

Tingkatan puasa selanjutnya adalah puasa khusus. Puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.

Selain memperhatikan aspek fisik, puasa khusus juga berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.

Menurut Imam Ghazali, orang yang berada pada tingkat khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diinginkan oleh anggota tersebut.

Tujuan untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya adalah ketenangan batin.

Menurut Imam Ghazali, pada hakikatnya puasa sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat dan motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah melalui cara mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.

Tingkatan puasa yang terakhir adalah puasa khususul khusus atau puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini.

Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT. Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.

Puasa khususul khusus hanya bisa dicapai oleh anbiya (para Nabi), shiddiqin, serta auliya’. Umat Islam yang ingin sampai pada tahap ini harus melalui dua tahap puasa yang sebelumnya.

Pada tingkat khususul khusus, kesadaran untuk menahan nafsu tidak hanya sampai pada batas lahiriah namun juga sampai pada hati dan batin. Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya.

Adab Berpuasa Menurut Syaikh Abu Nashr al-Sarraj

Sementara itu, sufi ternama Syaikh Abu Nashr al-Sarraj mengatakan bahwa sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang. Dia menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah, tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya.

“Inilah adab orang yang berpuasa.”

Sedangkan Imam Ghazali berkata, “Adab-adab berpuasa yaitu mengatur pola makan, meninggalkan perdebatan, menjauhi ghibah, menolak kebohongan, meninggalkan keburukan, menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang kurang baik.”

Di dalam kitab al-Luma fi al-Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Syekh Abu Nashr al-Sarraj mengisahkan bahwa Sahl bin Abdullah al-Tustari makan hanya sekali saja pada setiap lima belas hari di luar Ramadan. Jika bulan Ramadhan tiba, maka ia hanya makan sekali dalam satu bulan.

Kemudian Sahl al-Tustari menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru sufi. Maka ia menjawab, “Setiap malam ia hanya berbuka dengan air putih saja”.

Libur Idulfitri Sekolah Ditambah Seminggu

JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengungkapkan perubahan jadwal pembelajaran selama Ramadan, termasuk perubahan libur...

More Articles Like This