JAKARTAMU.COM | Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan hakikat tobat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mukminin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertobat dengan taubat nasuha.
Unsur atau faktor pertama tobat adalah unsur pengetahuan. Sedangkan unsur kedua dalam tobat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengan kata lain emosi dan inklinasi.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “at Taubat Ila Allah” yang ditejemahkan Abdul Hayyie al Kattani (Maktabah Wahbah, Kairo 1998) menjelaskan dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan. Ini kali kita membahas yang berhubungan dengan masa depan.
Tekad yang Kuat
Menurut Al-Qardhawi, jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam tobat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat.
“Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertobat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah,” katanya.
Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertobat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya.
Al-Qardhawi mengatakan yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertobat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali.
“Tobat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh setan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan,” ujarnya.
Tobat Menghapuskan Dosa yang Sebelumnya
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan tobat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut tobatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus.
Allah SWT berfirman:
اِنْ تَكُوْنُوْا صٰلِحِيْنَ فَاِنَّهٗ كَانَ لِلْاَوَّابِيْنَ غَفُوْرًا
in takûnû shâliḫîna fa innahû kâna lil-awwâbîna ghafûrâ
“Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat” [QS al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istigfar dan dia pun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Sedangkan jika ia bertekad untuk bertobat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadis sahih “Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan tobat menghapuskan dosa yang sebelumnya”.
Ibnu Katsir berkata: “apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadis dan atsar: “kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya”, ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak tobatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadis: “Taubat menghapus dosa yang sebelumnya”.
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya “Madarij Salikin” dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah tobatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan tobat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertobat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.
Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga tobatnya yang lalu tidak batal.
Tobat dan Berbuat Dosa Lagi
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: “Apakah seorang hamba yang bertobat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan tobatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?”
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Satu kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan tobatnya dahulu itu, karena tobatnya telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya.
Mereka berkata: karena tobat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya.
Kemudian jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat dalam hadis Nabi Saw:
“Barang siapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)”.
Ini adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap keislaman seseorang.
Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama itu.
Demikian juga dosa orang yang tobatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum tobat yang ia langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena kesahihan tobat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu lenyap.
Seperti kesahihan Islam disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalaninya.
Mereka berkata: tobat adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu.
Maka jika sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomatis batal, dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung oleh hadis sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu”.
Ini lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan: “maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam”. Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke neraka.
Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: “Ada seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka ia pun masuk neraka”.
Penutup yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Menanggung Dosa yang Baru
Sedangkan kelompok kedua — yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan tobatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar tobatnya itu– berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan tobat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan tobat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Mereka berkata: tobat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika tobat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan.
Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Muktazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengafirkan mereka, dan muktazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhab itu adalah batil dalam Islam. Berseberangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” [QS. an-Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu’ kepada Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan” [Hadits ini sanadnya dha’if jiddan/lemah sekali].
Syaikh Al-Qardhawi mengatakan ia adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera bertobat dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan tobatnya niscaya ia tidak disenangi oleh Rabbnya, malah menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” [QS. Ali Imran: 135].
Terus melakukan dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas tobat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan tobat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya.
Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka’at dalam shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya.
Sedangkan tobat, ia adalah adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara tobat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun, sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain adalah orang yang salat namun ia tidak berpuasa, atau yang yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah haji (padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: “Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan”[QS. Ali Imran: 167]. Dan berfirman:
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” [QS. Yusuf: 106].
Allah SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan tobat dari perbuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan tobat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)” [QS. Fushilat: 46].