Jumat, Maret 14, 2025
No menu items!
spot_img

Unsur Hati dan Keinginan dalam Tobat: Penyesalan Adalah Tobat

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan hakikat tobat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mukminin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertobat dengan taubat nasuha.

Unsur atau faktor pertama tobat adalah unsur pengetahuan. Sedangkan usur kedua dalam tobat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengan kata lain emosi dan inklinasi.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “at Taubat Ila Allah” yang ditejemahkan Abdul Hayyie al Kattani (Maktabah Wahbah, Kairo 1998) menjelaskan dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan. Ini kali kita membaha yang berhubungan dengan masa lalu.

Menyesal dengan Sangat

Menurutnya, yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa ang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadis: “penyesalan adalah tobat”.

Lantaran ia adalah bagian yang paling penting dari tobat. Seperti dalam hadis “Haji adalah Arafah”. Karena ia adalah rukun yang paling penting dalam haji itu.

Al-Qusyairi mengutip dari beberapa ulama mengatakan penyesalan itu cukup untuk mewujudkan tobat. Karena penyesalan itu akan mengantarkan kepada dua rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa.

Adalah mustahil jika ada seseorang yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan kembali.

Penyesalan adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri.

Ini adalah penyesalan yang mirip dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya atasnya.

Itu adalah kondisi “terbakar di dalam” yang diungkapkan oleh sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan tobat: melelehkan lemak (yang terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.

Kasus Perang Tabuk

Al-Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan tobat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang absen dari mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah SAW, yaitu perang Tabuk.

Perang ini merupakan peperangan pertama Rasulullah SAW dengan negara yang paling kuat di dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti kaum munafik, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengucilkan mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan oleh Al-Quran sebagai berikut:

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. (QS. at-Taubah: 118)

Oleh karena itu Dzun-Nun al Mishri berkata: hakikat tobat adalah: engkau merasakan bumi yang luas ini menjadi sempit karena dosamu, hingga engkau tidak dapat lari darinya, kemudian kesempitan itu engkau rasakan dalam dirimu. Seperti diungkapkan oleh al Quran: “dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka”.

Penyesalan dalam Kisah Nabi-Nabi

Di antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan magfirah dari Allah SWT.

Seperti kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istrinya memakan pohon yang dilarang itu:

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. al A’raf: 23)

Dan seperti kita temukan dalam kisah Nuh ketika ia meminta ampunan kepada Rabbnya atas anaknya yang kafir. Dan jawaban Ilahi terhadapnya adalah:

“Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. Huud: 46)

Di sini Nuh as merasakan kesalahannya, dan ia pun menyesalinya. Serta berkata:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Huud: 47)

Dan seperti kita lihat dalam kisah Musa, ketika beliau memukul seorang laki-laki dari Koptik dan menewaskannya:

Musa berkata: ‘Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)’. (QS. al Qashash: 15-16)

Juga kita lihat dalam kisah nabi Yunus:

“Ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al Anbiyaa: 87)

Meskipun jika kita perhatikan dosa-dosa yang diperbuat oleh para Rasul itu adalah dosa-dosa kecil, terutama jika kita perhatikan situasi dan kondisi terjadinya dosa itu, maka dosa-dosa itu memang ringan.

Namun para Rasul itu, karena halusnya perasaan mereka, hati mereka yang hidup, serta perasaan mereka yang kuat akan hak Rabb mereka, maka mereka melihat dosa itu sebagai dosa yang amat besar, mereka mengakui kesalahan diri mereka, dan merekapun segera memohon ampunan dan maghfirah dari Rabb mereka, karena Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

spot_img

Rumah, Tempat di Mana Hati Selalu Pulang

JAKARTAMU.COM | Dalam kehidupan yang penuh kesibukan, rumah adalah tempat terbaik untuk kembali. Bukan sekadar bangunan dengan dinding dan...

More Articles Like This