Rabu, Januari 15, 2025
No menu items!

Untold Story Muhadjir Effendy Jadi Menteri Kabinet Jokowi

Must Read

JAKARTAMU.COM | Waktu itu Pak Jokowi telah ditetapkan menjadi presiden. Saya bertemu waktu masih di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Atas saran protokoler, saya datang dengan mobil tertutup,” ungkap mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, PhD di Auditorium Perpustakaan Nasional, Senin (13/1/2025) malam.

Unstold story ini disampaikan Din saat didaulat menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam diskusi dan peluncuran buku ”Merawat Matahari” dan “Manusia Limited Edition”, sebuah biografi tentang Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP, sahabat sekaligus rekan seperjuangannya di Muhammadiyah.

Kepada Jokowi, Din menyampaikan bahwa Muhammadiyah siap memberikan kader terbaik bila memang dibutuhkan. Jokowi lalu masuk ke dalam lalu keluar dengan membawa kertas dan spidol warna biru.

Jokowi bertanya siapa kader yang dimaksud. Meluncurlah nama Prof. Dr. Fasli Djalal atas masukan Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif. ”Pak Jokowi tanya, memang Pak Fasli Djalal orang Muhammadiyah? Yang kedua Pak Muhadjir Effendy lalu Pak Bambang Setiaji,” tutur Din.

Baca juga: Muhadjir Effendy Bilang Muhammadiyah Sudah Survei Lokasi Tambang Adaro dan Arutmin

Seperti diketahui masyarakat luas, Jokowi akhirnya mengumumkan nama Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun dua tahun kemudian, Muhadjir Effendy ditunjuk menggantikan Anies.

Setelah selesai Din menjelaskan posisi Muhammadiyah kepada Jokowi. ”Intinya, saya menjelaskan Muhammadiyah tidak minta minta jabatan tapi jangan menghalang-halangi kader Muhammadiyah untuk berbakti dan mengabdi demi kepentingan bersama bangsa ini. Jangan seperti pemerintahan periode sebelumnya. Pak Jokowi, bertanya kepada saya, memang ada Prof yang seperti itu? Pak Jokowi memanggil saya selalu dengan sebutan Prof Din,” tutur kata ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu itu.

Muhammadiyah Tak Pernah Kecewa

Apa yang dimaksud Din mengenai sikap pemerintahan sebelum Jokowi mudah dilacak di berbagai media. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan susunan kabinetnya pada Rabu (21/10/2009 ) malam, tidak ada perwakilan dari Muhammadiyah.

Keesokan harinya, Din memberikan respons. “Nggak perlu kecewa. Muhammadiyah nggak kecewa,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin usai menjadi pembicara dalam seminar bertajuk ‘Harapan dan Tantangan Kabinet SBY 2009-2014’ di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang, Kamis (22/10/2009).

Pada berbagai kesempatan saat, Prof Din Syamsuddin sering menyatakan Muhammadiyah banyak melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, selalu ada bahkan banyak kader Muhammadiyah yang terlibat.

Karena itu, soal apakah kader Muhammadiyah akan direkrut lagi dalam setiap periode pergantian pemerintahan, hal itu sepenuhnya menjadi hak presiden dan wakil presiden terpilih.

Baca juga: Din Syamsuddin: Tiada Kemakmuran Tanpa Keadilan

“Terserah presiden sebagai orang yang punya hak prerogatif. Tapi, seandainya diminta, Muhammadiyah telah menyiapkan. Alhamdulillah, cukup banyak orang berkualias dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pertanian, dan perikanan di Muhammadiyah ini,” katanya.

Namun, sekali lagi Din sebagai ketua umum PP Muhammadiyah saat itu selalu  menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan meminta-minta. “Kalau pun tidak diberi, tidak ada masalah dan Muhammadiyah tidak akan berhenti berbuat untuk mengabdi kepada negara,” ujar Din.

Pada saat kepemimpinan Din Syamsuddin, gerakan internasionalisasi Muhammadiyah sangat terasa. Ini sejalan dengan kapasitas Din yang telah banyak berperan di dunia internasional,  terutama pada isu perdamaian dan dialog antar-agama (inter-faith dialogue). Munculnya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara pun mulai menjamur di era Din.

Namun demikian, relasi Muhammadiyah dengan pemerintah selama masa kepemimpinan Din terasa kurang kooperatif. Din cenderung melemparkan ktitik daripada pujian terhadap rezim SBY, yang dalam disebut Syarifuddin Jurdi (2005) sebagai “sikap ideal”. (*)

Dekat di Hati tapi Jauh di Pemikiran

"SAYA selalu membaca buku-bukunya Pak Din. Kami membaca buku yang sama, hanya di kesimpulannya saja yang berbeda." Pernyataan tersebut dilontarkan...

More Articles Like This