JAKARTAMU.COM | Mengapa umat Islam Indonesia dahulu lebih unggul dibandingkan sekarang? Padahal kini umat Islam jauh lebih banyak, dan tentu saja orang pandai juga tak sedikit, dibandingkan dengan zaman dulu.
“Ya, kita kalah dengan orang-orang dulu, boleh jadi karena kita tidak menerapkan nilai-nilai wasatiyah,” ujar Ustaz Dr Adi Hidayat, Lc. M.A. atau akrab disapa UAH dalam Pengkajian Ramadan 1446 H PP Muhammadiyah di Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta, sore ini, Jumat 7 Maret 2025.
Pada kesempatan itu Ustaz Adi menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis tentang wasathiyah. Ia membedakan antara makna moderasi dan wasatiyah. “Moderasi asalnya itu menurunkan atau menaikkan suatu standar, sehingga menjadi standar tertentu untuk mengontrol suatu keadaan,” katanya,
Sedangkan wasatiyah merupakan titik tengah yang membawa nilai-nilai ideal, sehingga menguatkan keadaan jadi lebih unggul. “Ada moderasi dalam konteks kenegaraan. Negara menginginkan ada pemahaman yang standar segini, sehingga negara bisa mengkontrol keadaan,” katanya.
“Wasatiyah berbeda. Dia sudah punya nilai yang ideal, sudah unggul yang ketika dihidupkan justru dia menguatkan nilai-nilai kenegaraan negara itu, sehingga bernegara dalam konteks yang lebih baik,” lanjutnya.
Satu-satunya Ayat tentang Wasatiyah
Satu-satunya ayat dalam Al-Quran yang menyebut istilah Wasatiyah adalah Surat Al-Baqarah ayat 143. Allah SWT berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُۗ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ١٤٣
Wa kadzâlika ja‘alnâkum ummataw wasathal litakûnû syuhadâ’a ‘alan-nâsi wa yakûnar-rasûlu ‘alaikum syahîdâ, wa mâ ja‘alnal-qiblatallatî kunta ‘alaihâ illâ lina‘lama may yattabi‘ur-rasûla mim may yangqalibu ‘alâ ‘aqibaîh, wa ing kânat lakabîratan illâ ‘alalladzîna hadallâh, wa mâ kânallâhu liyudlî‘a îmânakum, innallâha bin-nâsi lara’ûfur raḫîm
Artinya: Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Surat Al-Baqarah ayat 143 ini mengandung 4 bahasan pokok. Pertama, umat Islam disebut sebagai umat pertengahan (wasath) yang menempati posisi moderat di antara umat-umat lain. Kedua, maksud dari umat yang menjadi saksi, yaitu umat Islam dipilih untuk menjadi saksi kebenaran di hadapan seluruh umat manusia. Ketiga, alasan di balik pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah di Makkah. Keempat, penegasan bahwa tidak ada amal yang sia-sia di sisi Allah SWT; setiap amal kebaikan akan mendapatkan balasan dari-Nya.
Imam Qurthubi mengatakan Allah SWT menempatkan umat Islam dalam posisi yang seimbang, yaitu berada di bawah derajat para nabi, namun di atas umat-umat lainnya. Posisi ini menegaskan bahwa umat Islam dipilih untuk menjalankan peran moderat, menegakkan kebenaran, dan menjadi teladan bagi seluruh manusia.
Lebih jauh, Imam Qurthubi juga menjelaskan bahwa umat Islam disebut sebagai umat pertengahan karena mereka tidak berlebihan, seperti umat Nasrani yang mengagungkan para nabi mereka secara berlebihan, dan juga tidak melampaui batas, seperti umat Yahudi yang menentang para nabi mereka.
Syakh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir menambahkan ‘al-wasath‘ berarti adil. Istilah ini berasal dari gagasan bahwa “bagian yang tengah” biasanya merupakan “bagian yang paling terpuji.” Oleh karena itu, umat Islam dianggap sebagai umat yang paling adil, terbaik, dan paling seimbang dalam berbagai aspek kehidupan.
Ini termasuk keseimbangan dalam kedudukan geografis, iklim, watak, syariat, hukum, ibadah, serta dalam menjaga harmoni antara kebutuhan jasmani dan rohani, juga antara kepentingan dunia dan akhirat.
Kemoderatan umat Islam memungkinkan mereka memenuhi hak-hak Allah, hak-hak pribadi mereka sendiri, hak-hak tubuh, serta hak-hak orang lain dalam masyarakat, baik yang memiliki hubungan kekerabatan maupun yang tidak.
Dengan kemoderatan ini, umat Islam mampu menjalankan perannya sebagai umat terbaik, menjaga keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, dan menjadi contoh bagi umat lainnya.
Lebih jauh, Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa pemberian kesaksian atas manusia di padang Mahsyar dilakukan oleh para nabi atas umat-umat mereka.
Hal ini, masih menurut beliau, adalah pemberitaan dari Allah SWT tentang karunia yang diberikan-Nya kepada umat Islam, di mana Dia melebihkan umat ini atas nama keadilan, dan memberi mereka hak untuk memberi kesaksian atas seluruh makhluk-Nya.
Dia menjadikan kaum muslimin berada di tempat pertama meskipun -kalau dilihat dari zamannya- mereka adalah umat terakhir.
Selain itu, menurut Syekh Wahbah ayat ini menjadi dalil bahwa yang bisa memberi kesaksian hanyalah orang-orang yang adil (berperangai baik). Ucapan (tuduhan) seseorang tidak bisa dilaksanakan atas orang lain kecuali jika ia adil.
Ini juga menunjukkan sahnya ijma’ (yakni bahwa ijma’ itu benar-benar ada) dan wajibnya memutuskan hukum dengannya, sebab mereka (kaum muslimin) adalah umat yang adil dan memberi kesaksian atas seluruh manusia; setiap masa menjadi saksi atas kaum di masa sesudahnya.
Bukti-Bukti Sejarah
Ustaz Adi Hidayat menyebut tentang bukti-bukti sejarah. Bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW bersama 40 orang yang mula-mula memeluk Islam atau Assabiqunal Awwalun hijrah ke Yastrib, kota itu adalah kota yang terbelakang. Ekonomi dikuasai Yahudi. Konflik antara suku Aus dan Khazraj sering terjadi.
Hanya dalam waktu 2 tahun, Yatrib menjadi negeri yang terpandang, aman, dan berubah namanya menjadi al-Madīnah al-Munawwarah atau “kota yang bercahaya” atau “kota yang cemerlang”.
Tatkala Nabi wafat, kata Ustaz Adi, para sahabat berpencar ke berbagai penjuru. Tempat-tempat yang mereka huni menjadi wilayah yang nyaman dan aman. Peperangan tak lagi terjadi. “Mereka semua menerapkan nilai-nlai Wasatiyah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” jelas Ustaz Adi.
Eropa yang tadinya gelap menjadi terang setelah Islam masuk. Indonesia juga begitu. Negeri yang tadinya gelap menjadi terang dengan masuknya Islam. Setiap kerajaan yang dibentuk oleh dai Islam maju karena menerapkan nilai-nilai wasatiyah. “Kepeloporan umat Islam di negeri ini sangat menonjol dan diperhitungkan karena menjalankan nilai-nilai Wasatiyah,” ujar Ustaz Adi.