JAKARTAMU.COM | Utang luar negeri Indonesia naik sebesar 8,3 persen dibandingkan tahun lalu. Hinggu kuartal III 2024, nilai utang luar negeri tercatat USD427,8 miliar atau setara Rp6.790 triliun (kurs Rp15.874 per dolar AS). Perkembangan ULN tersebut bersumber dari sektor publik.
“Posisi posisi utang luar negeri kuartal III 2024 juga dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso dalam keterangan resmi, Sabtu (16/11/2024).
Dari jumlah tersebut, utang luar negeri pemerintah pada kuartal III 2024 sebesar USD 204,1 miliar, atau tumbuh sebesar 8,4 persen (yoy). Dibandingkan dengan kuartal II 2024 sebesar 0,8 persen (yoy), terjadi lonjakan pertumbuhan utang yang cukup tajam.
Baca juga: Kebocoran Anggaran Capai Rp1.330 Triliun, IDR: Perlu Meningkatkan Sinergitas
Denny mengungkapkan, perkembangan posisi utang luar negeri tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri dan peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik, seiring dengan tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
“Pemerintah terus berkomitmen untuk menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola posisi utang luar negeri secara pruden dan akuntabel untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal,” ujarnya.
Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan posisi utang luar negeri terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor prioritas dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan utang luar negeri.
Berdasarkan sektor ekonomi, posisi utang luar negeri pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial yaitu 21,0 persen dari total utang luar negeri pemerintah, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib yakni 18,9 persen, jasa pendidikan 16,8 persen, konstruksi 13,6 persen, serta jasa keuangan dan asuransi 9,1 persen.