Rabu, Desember 4, 2024
No menu items!

Wahabi: Cap Bagi Mereka yang Melanggar Tradisi dan Anti-Bi’dah?

Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.

Must Read

KEBANYAKAN orang biasa menuduh “wahabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadis-hadis sahih.

“Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata,” tulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam bukunya berjudul “Jalan Golongan yang Selamat” (Darul Haq, 1998)

Muhammad bin Jamil Zainu atau Jameel Zeno (1925 – 2010) adalah ulama Sunni dan penulis produktif yang sangat disegani di negara-negara Barat terutama yang berbahasa Inggris.

Ulama kelahiran di Aleppo, Suriah pada 1925 ini banyak menampilkan studi yang dilakukan oleh Centre for Social Cohesion, “Hate on the State: How British libraries encourage Islamic extremism” oleh James Brandon dan Douglas Murray, di mana ia digambarkan sebagai “salah satu ulama Wahabi paling ganas yang buku-bukunya disimpan di perpustakaan Tower Hamlets”, yang kemudian juga diberitakan oleh BBC News.

Dia mengisahkan suatu kali, di depan seorang Syaikh, ia membacakan hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadis ini berbunyi:

“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR At-Tirmidzi).

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”

Lalu kepada Syaikh tersebut, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu katakan, “Hadis ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.”

Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan.”

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu lalu bertanya, “Apa dalil anda?”

Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d” dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?!” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”

Lalu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu.”

Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”

Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”

Padahal Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, mengaku tidak mengenal sedikit pun tentang wahabi, kecuali sekadar yang ia dengar dari para Syaikh.

Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”

“Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh,” ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tanyakan jama’ahnya, sehingga ia mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadis, dan fikih.

Bersama anak-anak Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan sebagian pemuda intelektual, ia mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar.

“Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya,” ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainuberkisah.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata dalam hati, “Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”

Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, “Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam biasa membuka khotbah dan pelajarannnya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadis-hadis seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya.

Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranun Karim dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqab (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (QS Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidah.”

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kembali berkisah, ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah Syaikh yang sesungguhnya!”

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad.

Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa’ul Husnaa). (*)

ISEI Komisariat UM Bandung Siap Dorong Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Komisariat Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung Suparjiman menegaskan komitmen untuk mendorong...

More Articles Like This