JAKARTAMU.COM | Teologi al-Qur’an tidak sekadar terbatas pada aspek kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut pandangan dan sikap kita terhadap manusia, benda dan lembaga.
“Hubungan manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur’an. Khususnya berkaitan dengan kekayaan,” ujar Djohan Effendi (1939-2017) dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah”.
Suatu hal yang sangat menggoda untuk direnungkan, kata Djohan, justru pada surat-surat atau ayat-ayat yang diwahyukan di masa-masa permulaan kenabian Muhammad SAW tidak terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala.
Menurut Djohan, yang ada malah kecaman terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial.
Djohan Effendi lalu menjelaskan tentang periodesasi turunnya al-Quran. Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur’an dibagi dalam dua priode: periode Makkah (610-622 M.) dan periode Madinah (622-632 M.).
Periode Makkah sendiri juga dibagi dalam tiga tahap, tahap Makkah awal (610-615 M.), tahap Makkah pertengahan (616-617) dan tahap Makkah akhir (618-622 M).
Pada masa periode Makkah awal, kata Djohan, terdapat 48 surah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Di sini hanya diambil 12 surah paling awal saja, yakni: (1) Surah al-‘Alaq, (2) Surah al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5) Surah al-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma’un, (8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah.
“Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah al-Dhuha,” kata Djohan Effendi.
Beberapa mufassir menceritakan bahwa Surah al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari kenabian, atau dari sejarah Islam.
Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah penyembahan berhala. Enam surah di antaranya justru menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan ketidak pedulian terhadap orang-orang yang menderita.
Dalam Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat.
Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya! Akan dibakar ia dalam api menyala.
Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya.
Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta kekayaannya bisa mengekalkannya.
Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma’un, orang-orang yang tidak memedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama.
Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.
Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan.
“Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan.”
Dalam Surah al-Layli yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.
“Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia binasa.
Terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.
“Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang terlunta-lunta.
Djohan Effendi mengatakan pesan-pesan al-Qur’an di atas, yang diwahyukan justru di masa yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam al-Qur’an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita. (*)